Monday, 27 October 2014

Four 2015 YA Releases that I Just Discovered but Can't Wait Already


27 Januari 2015

Cody and Meg were inseparable.
Two peas in a pod.
Until . . . they weren’t anymore.
 
When her best friend Meg drinks a bottle of industrial-strength cleaner alone in a motel room, Cody is understandably shocked and devastated. She and Meg shared everything—so how was there no warning? But when Cody travels to Meg’s college town to pack up the belongings left behind, she discovers that there’s a lot that Meg never told her. About her old roommates, the sort of people Cody never would have met in her dead-end small town in Washington. About Ben McAllister, the boy with a guitar and a sneer, who broke Meg’s heart. And about an encrypted computer file that Cody can’t open—until she does, and suddenly everything Cody thought she knew about her best friend’s death gets thrown into question.
 
I Was Here is Gayle Forman at her finest, a taut, emotional, and ultimately redemptive story about redefining the meaning of family and finding a way to move forward even in the face of unspeakable loss.

***


31 Maret 2015

Following her pitch-perfect debut Open Road Summer, Emery Lord pens another gorgeous story of best friends, new love, & second chances.

It’s been a year since it happened—when Paige Hancock’s first boyfriend died in an accident. After shutting out the world for a year, Paige is finally ready for a second chance at high school . . . and she has a plan. First: Get her old crush, Ryan Chase, to date her—the perfect way to convince everyone she’s back to normal. Next: Join a club—simple, it’s high school after all. But when Ryan’s sweet, nerdy cousin, Max, moves to town and recruits Paige for the Quiz Bowl team (of all things!) her perfect plan is thrown for a serious loop. Will Paige be able to face her fears and finally open herself up to the life she was meant to live?

Brimming with heartfelt relationships and authentic high-school dynamics The Start of Me and You proves that it’s never too late for second chances.

***


21 April 2015

Quinn Sullivan lost the love of her life when her boyfriend, Trent, died in an accident their junior year. In an attempt to get closure, she reached out to the recipients of his donated organs. Though some answered her letters, the one Quinn feels matters most--the person who received Trent's heart—has been silent.

Nineteen-year-old Colton Thomas has spent the last several years in and out of hospitals waiting for a heart transplant. Now that he's finally received a new heart, Colton is regaining strength, and he's walking away from his bedridden past with no intention of looking back. He doesn't want to know about the person who had to die so that he could live. He only wants to move forward.

But Quinn can't let it go. Venturing outside the system to find Colton, Quinn takes a risk in hopes of finally laying her memories to rest. But what begins as an innocent conversation quickly becomes an attraction--and to make matters worse, Colton has no idea how they're connected. His zest for life pulls Quinn from her months of sorrow but leaves her torn between honesty and utter betrayal. Because no matter how hard she's falling for Colton, each beat of his heart reminds her of all she's lost.

***


5 Mei 2015

Twenty years ago, America Singer entered the Selection and won Prince Maxon’s heart. Now the time has come for Princess Eadlyn to hold a Selection of her own. Eadlyn doesn’t expect her Selection to be anything like her parents’ fairy-tale love story. But as the competition begins, she may discover that finding her own happily ever after isn’t as impossible as she always thought.

***


Sunday, 26 October 2014

[Book Review] Honeymoon in Paris: A Novella

Honeymoon in Paris
penulis Jojo Moyes
57 halaman, ChickLit (Prequel dari The Girl You Left Behind)

“So… I saw [this painting] this morning… this miserable, neglected wife. And it just hit me. That’s not how I want to be. I felt suddenly as if the whole our marriage was going to be like this—me wanting your attention, and you not being able to give it. And it scared me.”

Honeymoon? Paris? YES PLEASE THANK YOU VERY MUCH.


Tapi karena sudah tahu gimana kelakuan Jojo Moyes—saya belum bisa memaafkan dia sejak Me Before You—saya tidak berekspektasi kalau semua bakal baik-baik saja.

Honeymoon in Paris merupakan novella pengantar The Girl You Left Behind, yang sampai sekarang saya masih mandeg bacanya di tengah-tengah jalan karena (1) Sudah mulai UTS, (2) Topik Perang Dunia tidak begitu pas dengan selera saya, dan (3) FEELS, FEELS EVERYWHERE.

Novella ini menceritakan dua wanita di masa berbeda—Liv (2002)…. yang baru saja menikah dan sedang menjalani honeymoon impiannya di Paris, dan Sophie (1912)…. mantan shopgirl yang juga baru saja menikah dengan seorang pelukis ternama, Eduard.

Liv merasa tidak bahagia karena honeymoon yang sudah ia gadang-gadang bersama dengan David harus berantakan karena David terlalu sibuk dengan meeting tentang rancangan bisnisnya. Dari yang rencananya 7 hari, jadi 5 hari, dan David selalu mengatur meeting di saat-saat yang paling tidak tepat.

“Sure. I just hadn’t realized my honeymoon was going to be five days in Paris thinking up ways to kill time.”

Nyatanya, itulah yang harus ia lakukan. Hari-hari yang harusnya ia habiskan bersama David malah harus Liv hadapi sendirian. Berkeliling Paris sendirian. Berkeliling. Paris. SENDIRIAN *bergidik ngeri*. Nongkrong di kafe… jalan-jalan…. dan mengunjungi museum sendirian. Tiba-tiba, Paris tidak seromantis yang ia pikir.

Ketika mengunjungi salah satu museum itulah, Liv melihat sebuah lukisan seorang pelukis minor bernama Eduardo Lefevre. Ya, wanita di lukisan itu adalah Sophie. Lukisan berjudul “Wife, out of sorts” itu begitu menohok hatinya dan membuatnya tersadar akan sesuatu yang sudah lama ia coba sangkal.

I’m twenty-three years old, she thinks. And I have a married a man who has already put me firmly in the background of his life. I’m going to be that sad, quietly furious woman in the kitchen whom nobody notices, desperate for his attention, sulking when she doesn’t get it.  Doing things alone and ‘making the best of it’.

***

Saya lebih menyukai kisah tentang Liv dibandingkan kisah Sophie karena…. murni pengalaman pribadi XD. Hah belum sampe tahap menikah sih (God, please no), tapi memang dinomorduakan itu rasanya pahit. Jojo Moyes, you did it again!!!


57 halaman ini bener-bener membuat saya lelah batin. Jojo Moyes selalu bisa menyentuh para pembacanya lewat emosi paling mendalam (sayangnya, emosi yang timbul adalah kesedihan) dan membuka luka-luka lama. Astaga, saya juga nggak pengen dinomorduakan sama suami saya nanti. *EAAAA jombs….

Yang menarik dari novella ini adalah tidak ada ending yang menggantung. Tapi seperti candu, dengan sendirinya pembaca bakal penasaran dengan kelanjutan kisah Liv dan Sophie dalam The Girl You Left Behind. Siapa yang bakal ditinggalkan? Dan bagaimana bisa lelaki ini tega berpisah dengan wanita yang mereka cintai? Ah, harus baca novelnya dulu ya? Siap-siapin hati dulu deh :(


Mrs. Moyes, please don’t let anything happen to them!!

Wednesday, 22 October 2014

Wishful Wednesday #20


Halo. Sudah cukup lama saya tidak posting Wishful Wednesday. Tahun ini saya sukses untuk tidak lapar mata tiap ke toko buku atau browsing toko buku online (yang murni saya lakukan buat menyiksa diri sendiri….ujung-ujungnya sih nggak beli). Cukup bangga dengan pencapaian saya sepanjang tahun ini, walaupun tetep aja masih mupeng berat sama….


My True Love Gave to Me, edited by Stephanie Perkins
I can’t resist that beautiful cover!!!!!  Buku ini adalah proyek gabungan dari 12 penulis terkenal (Gayle Forman? Holly Black? David Levithan? Laini Taylor? Rainbow Rowell?.....dll dst). Gosh.... I just can't.....look away.....


A Game of Thrones Series by George R. R. Martin
Ternyata, nonton 4 Season TV seriesnya itu masih kurang (err….40 episode by the way). Mau nggak mau saya penasaran sama novel-novel GRRM yang terkenal karena bikin frustasi tapi nagih ini. I know, riiiighhhht??!!!! Hampir semua tokoh jagoan saya mati mengenaskan.


Ta…tapi mahal……. Ta….tapi segede gaban….. Dan hanya Tuhan yang tahu kapan GRRM bakal menerbitkan buku keenamnya.

Khusus A Game of Thrones, saya bertekad banget buat koleksi. Minimal beli dari satu demi satu lah. Atau ada yang punya dan bersedia menghibahkan ke saya? 


Please please please please….

Monday, 20 October 2014

[Book Review] On the Fence

On the Fence
penulis Kasie West
296 halaman, Young Adult/ Contemporary/ Realistic Fiction

“You are in our family.”
“No, I’m not.”
“In all the ways that matter. I told you the other night that you’re stuck. You can’t disown us now.”
“I don’t want to,” he whispered.

Kalau kamu sedang mencari bacaan ringan, dengan tema yang bukan hanya cinta tapi juga keluarga yang meninggalkan perasaan hangat di dalam hati, novel-novel karya Kasie West ini adalah pilihan yang tepat. Saya sudah baca The Distance Between Us, dan sejak saat itu saya bertekad untuk membaca semua novel lain karya beliau. Saya suka ketika membaca buku membuat saya bisa melupakan sejenak stres dan tekanan dalam hidup, bisa tersenyum sampai pipi sakit, dan bisa membuat saya tersadar bahwa saya itu sudah sangat beruntung dengan kondisi saya saat ini. Walaupun saya kadang mikir, heck….where’s my super hot and kindhearted boy?



Charlie—oke, Charlotte sebenarnya—tumbuh dalam lingkungan penuh laki-laki. Ayahnya, tiga orang kakak laki-lakinya (Jerom, Nathan, Gage), dan Braden… yang merupakan tetangga mereka sejak kecil dan selalu menghabiskan waktu bersama keluarga Charlie. Belum lagi para anggota tim sportnya. Bagi Charlie, keluarganya adalah segalanya.

It was true that you could tell a lot about someone by the way they played a game. I knew Jerom was a leader, Nathan followed all the rules to a T, and Gage was laid-back, in it for the fun. What about Braden? What had I learned about Braden over the years from watching him play? He was a team player, never hogged the ball or took it when he couldn’t deliver. He hung in the background a lot, waiting until someone needed assistance. So he was…what? Observant? Not selfish?

Tapi sekuat apapun Charlie menyangkal, tetap muncul perasaan mengganjal bahwa ada sesuatu yang kurang dalam hidupnya. Ibunya meninggal ketika Charlie masih berumur enam tahun, yang hingga sekarang masih memberikannya mimpi buruk (literally). Ayahnya mungkin sudah berusaha semaksimal mungkin untuk membesarkan Charlie sebagai seorang perempuan normal, tapi pengetahuan ayahnya sangat terbatas. You know what I mean…. stuffs that only a Mom know…. first period, bra, conditioner, even make up…..

I still remembered when I was thirteen and my dad approached me one day. Sweat beaded his upper lip. “Charlie,” he’s said. “Carol at work said you might need a bra.” He said it so fast I almost didn’t catch it. Then both of our faces reddened. “I could take you shopping,” he added. “I guess they have stores where they help you get fitted…and stuff.”

Belum apa-apa saya sudah meleleh sama satu laki-laki di hidup Charlie ini. Bukan hal mudah bagi seorang polisi berwibawa untuk menemani anaknya berbelanja bra. But he tried. So hard, that my heart feels hurt. Kerennya nih, terlepas dari segala ketidaktahuannya akan “masalah perempuan”, Ayah Charlie tahu kapan harus lembut dan kapan harus keras terhadap Charlie. Maka ketika untuk kesekian kalinya Charlie tertilang karena ngebut, ayahnya memutuskan bahwa Charlie harus bertanggung jawab untuk mengganti uang denda tilang itu. Dengan part-time job.

Ironi, Charlie yang tidak tahu apa-apa soal fashion dan make up pun mendapat kerja di sebuah butik. Dan tidak hanya sebatas pramuniaga. Sejak bekerja di butik, Charlie mulai mendapatkan potongan-potongan kehidupan yang hilang dari dirinya. Dia mulai pakai baju yang lebih feminim (aturan kerja), hangout bersama para cewek, belajar dandan walaupun sebatas jadi “kanvas” demo make up, dan flirting dengan cowok. Hal yang sebelumnya tidak pernah dia pikir akan terjadi di hidupnya. Tapi semuanya dia lakukan tanpa sepengetahuan keluarganya. Dia cuma belum sanggup menghadapi reaksi kakak-kakaknya (dan terutama ayahnya).

Selain sisi tomboy dan sisi feminim yang disandang Charlie, ia punya satu sisi lain lagi. Charlie di hadapan Braden. Charlie yang sering bertukar pikiran dengan Braden di pagar mereka. Bagian yang paling saya suka adalah permainan kecil siapa-yang-lebih-mengerti yang selalu mereka lempar satu sama lain. Ah, that little denial feeling when we realize we fall in love with our bestfriend.

Memang, bakal ada sedikit drama di sini. Tapi lebih untuk pengembangan karakter. Suka gemes deh kalo tokoh utama ngelakuin hal bodoh dan kita di sini cuma bisa….


Drama inilah yang bikin saya cuma kasih 3 bintang buat buku ini di Goodreads, seharusnya sih bisa lah dapet 4 bintang.

“You are so clueless. I don’t believe you, the most stubborn girl in the world, would be willing to do that for a guy who’s not even worth the time or effort. You don’t have to pretend to be anyone.”

Aaaaaah saya suka sama buku ini. Terutama bagian percakapan Charlie dan Braden di pagar mereka. Tema keluarga memang selalu dipegang erat oleh Ms. West. Hubungan antara Charlie dengan kakak-kakaknya pun tidak hanya berjalan sebatas saudara. Mereka adalah sahabat, teman curhat, bodyguard, sekaligus musuh bebuyutan bagi Charlie. Tokoh-tokoh pendamping bener-bener bisa menyatu dengan tokoh utama, dan si tokoh utama pun bisa mengalami perkembangan di sepanjang cerita. Saya yang biasanya nggak begitu suka YA berbau sport pun malah bisa menikmati alur cerita dengan baik.

Saya seneng sekali sama perubahan yang dialami Charlie. Dia sebenarnya gadis baik, cuma belum tahu bagaimana "aturan main"-nya dalam kehidupan ini. Ketika dia mulai beradaptasi, ketika itulah sikap annoying-nya berkurang. Sekuat apa pun wanita, dia pasti punya satu titik kelemahan. Kita nggak bisa mengharapkan seseorang "mendadak" berubah jadi sekuat besi, atau sempurna tanpa celah. Kita semua punya kelemahan, cuma ada yang lebih pintar menutupinya. Dan guys, seputih apa pun kebohongan yang kita ucapkan, suatu saat akan berbalik ke kita juga. And not in a good way.

“That’s hard, when someone doesn’t meet our expectations.” She moved around to the other side of the table. “Sometimes we expect more than people are capable of giving at the moment.”

***
Buku lain dari Kasie West yang bakal saya baca dalam waktu dekat ini:


Dan YA Contemporary dari Kasie West yang akan terbit 5 Mei 2015 nanti. Can’t wait!


*) Thank you @ideklinz for allowed me to use your beautiful picture Xxxxx

Saturday, 11 October 2014

[Book Review] Things I Can't Forget

Things I Can’t Forget
penulis Miranda Kenneally
308 halaman, Young Adult/ Realistic Fiction

“I can tell he’s something you’re serious about.”
“How can you tell?”
“He makes you smile when not much does anymore. Even drawing doesn’t make you smile like that.”

Buat kamu yang rajin update buku-bukunya Miranda Kenneally, pasti tau dong kalau Things I Can’t Forget ini adalah companion novel dari Catching Jordan sama Stealing Parker?


Apa itu companion novel? Companion novel itu semacam sekuel, tapi dituturkan dari tokoh yang berbeda dari novel-novel sebelumnya. Biasanya si tokoh utama di companion novel ini sudah pernah muncul sekilas di buku sebelumnya (remember Isla?).

Sudah cukup lama sejak saya terakhir baca Catching Jordan. Mungkin karena temanya nggak sesuai sama selera, atau kemampuan Bahasa Inggris saya yang waktu itu masih belum lancar—bukunya belum diterjemahkan—saya lupa mayoritas ceritanya. Dan saya belum sempat baca yang Stealing Parker hiks. Ketika dihadapkan pada 5 novel Hundred Oaks punya Miranda Kenneally ini, saya langsung naksir sama cover Things I Can’t Forget. Jadi harap maklum kalau saya tidak akan membandingkannya dengan dua novel sebelumnya. (TERUS NGAPAIN BAHAS COMPANION NOVEL SEGALA WOY!!! *dibuang dari bumi*)


Kate baru saja lulus SMA dan akan menghabiskan musim panas sebagai counselor di Cumberland Creek summer camp. Awalnya rencana itu terlihat menyenangkan ketika ia menyusunnya bersama Emily. Tapi persahabatan mereka ternyata harus putus di tengah jalan sejak Emily dihadapkan pada keputusan besar dalam hidupnya. Keputusan yang melibatkan Kate. Keputusan yang hingga saat ini masih membuat Kate mempertanyakan apakah Tuhan akan mengampuni dosanya…atau apakah menjadi seorang Kristen taat itu salah sehingga orang-orang menyebut dia Jesus Freak dan judgemental bitch (termasuk Emily).

I laugh. “Thanks for swimming out to save me.”
He looks over at my face. “You saved me once too.”

Untungnya, kamp tidak semengerikan yang ia pikir. Okay, Megan si camp director memang sangat menyebalkan dan dia tidak punya satu orang pun teman seperti Emily. Tapi ketika Matt muncul, perlahan semuanya menjadi lebih mudah bagi Kate. Matt ini sedikit mengingatkan saya sama Jase Garrett di My Life Next Door. Tipe cowok baik-baik yang sayang keluarga. Pokoknya segala yang kamu lampirkan dalam daftar your-book-boyfriend deh. Matt yang tidak pernah pakai alas kaki karena ingin jadi pelari hebat, Matt kesayangan para campers, dan Matt yang setiap malam selalu menyeret kasur ke luar kabin milik Kate untuk menjaga Kate. Gosh, a boy I loved once did those things for me too, long ago.

Berbeda dari novel YA kebanyakan yang saya baca, unsur relijius di novel ini terasa kental sekali. Iman Kate sepertinya sangat diuji di sini. Dibesarkan sebagai seorang Kristen yang taat, Kate mau tak mau mengernyit ketika tahu bahwa para counselor cowok dan cewek saling berbagi kabin. Atau ketika tahu sahabat Parker ternyata gay. Berada dalam titik terendah dalam hidupnya, Kate harus tetap menyesuaikan diri dengan situasinya yang baru. Nah di sinilah Matt terlibat. Dia yang menarik Kate dari zona nyamannya. Dia yang menuntun Kate menemukan jawaban dan “pertanda” yang selama ini ia cari. Apa akhirnya Kate bisa memaafkan dirinya sendiri?

“Thank you,” I whisper, thinking about how he’s like a four-leaf clover. Something you don’t find often. I’d be stupid to mess things up with him just because he’s in a frat, especially when everything else about him fits just right.

Hubungan yang terjalin antara Kate dan Matt dibangun perlahan tapi dengan landasan yang kuat. I have a soft spot for a handsome goof, espesialy the faithful one. Sayang sekali sampai akhir cerita Kate belum mengalami perubahan yang begitu berarti. Oke, mungkin sedikit. Tapi seharusnya dia bisa lebih dari itu. Dari awal saya punya keyakinan yang cukup kuat buat Kate....yah bisa dibilang saya cukup kecewa sama dia.

Oh ya, di buku ini, Parker dan Will dapat jatah yang cukup banyak ternyata. Dan bikin saya nggak menyesal-menyesal amat skip baca buku tentang mereka wahaha #PLAK. Jordan sama Jacob juga muncul sekilas. Jadi buat kamu yang pengen ketemu sama tokoh-tokoh lama kesayanganmu, buku ini semacam reuni manis buat kalian.

Saya suka banget sama suasana kamp musim panas yang mendominasi setting buku ini. See, pengalaman masa kecil saya tentang kegiatan semacam itu hanya sebatas pramuka XD. Tipikal summer book, buku ini bikin saya pengen cepet-cepet packing dan pindah ke sana, atau minimal tinggal setahun dua tahun lah….ngerasain gimana suasana musim panas yang sebenarnya.

Things I Can’t Forget mungkin bukan salah satu novel YA spektakuler yang saya baca, tapi saya banyak belajar banyak hal di sini. Mungkin saya bakal baca buku Miranda Kenneally lainnya (walaupun buku kelima covernya nggak matching) :D


"Learning is never a bad thing. And neither is changing your mind about things... It's always good to reevaluate. To think and consider all sides."



*Foto utama disadur dari akun milik @teenbooksdaily. Terima kasih Jennifer, sudah mengijinkan saya memakai foto kamu untuk review ini. Please go check her instagram account, she’s so talented!!!!

Sunday, 5 October 2014

Books I read in September…



I read The Catastrophic History of You And Me for #bookishpinoysreadalong. REALLY RECOMMEND IT!!!



And here my favorite series this month. Such a light and fun read. JESSE!!!




And the last 2 books in the series I read in October. Can’t wait for the 7th book.



I cried in the last page of the sixth book *sniff* *sniff*


Um, San, how many books that you succesfully review on your blog? NONE. Hahaha.