Saturday, 11 October 2014

[Book Review] Things I Can't Forget

Things I Can’t Forget
penulis Miranda Kenneally
308 halaman, Young Adult/ Realistic Fiction

“I can tell he’s something you’re serious about.”
“How can you tell?”
“He makes you smile when not much does anymore. Even drawing doesn’t make you smile like that.”

Buat kamu yang rajin update buku-bukunya Miranda Kenneally, pasti tau dong kalau Things I Can’t Forget ini adalah companion novel dari Catching Jordan sama Stealing Parker?


Apa itu companion novel? Companion novel itu semacam sekuel, tapi dituturkan dari tokoh yang berbeda dari novel-novel sebelumnya. Biasanya si tokoh utama di companion novel ini sudah pernah muncul sekilas di buku sebelumnya (remember Isla?).

Sudah cukup lama sejak saya terakhir baca Catching Jordan. Mungkin karena temanya nggak sesuai sama selera, atau kemampuan Bahasa Inggris saya yang waktu itu masih belum lancar—bukunya belum diterjemahkan—saya lupa mayoritas ceritanya. Dan saya belum sempat baca yang Stealing Parker hiks. Ketika dihadapkan pada 5 novel Hundred Oaks punya Miranda Kenneally ini, saya langsung naksir sama cover Things I Can’t Forget. Jadi harap maklum kalau saya tidak akan membandingkannya dengan dua novel sebelumnya. (TERUS NGAPAIN BAHAS COMPANION NOVEL SEGALA WOY!!! *dibuang dari bumi*)


Kate baru saja lulus SMA dan akan menghabiskan musim panas sebagai counselor di Cumberland Creek summer camp. Awalnya rencana itu terlihat menyenangkan ketika ia menyusunnya bersama Emily. Tapi persahabatan mereka ternyata harus putus di tengah jalan sejak Emily dihadapkan pada keputusan besar dalam hidupnya. Keputusan yang melibatkan Kate. Keputusan yang hingga saat ini masih membuat Kate mempertanyakan apakah Tuhan akan mengampuni dosanya…atau apakah menjadi seorang Kristen taat itu salah sehingga orang-orang menyebut dia Jesus Freak dan judgemental bitch (termasuk Emily).

I laugh. “Thanks for swimming out to save me.”
He looks over at my face. “You saved me once too.”

Untungnya, kamp tidak semengerikan yang ia pikir. Okay, Megan si camp director memang sangat menyebalkan dan dia tidak punya satu orang pun teman seperti Emily. Tapi ketika Matt muncul, perlahan semuanya menjadi lebih mudah bagi Kate. Matt ini sedikit mengingatkan saya sama Jase Garrett di My Life Next Door. Tipe cowok baik-baik yang sayang keluarga. Pokoknya segala yang kamu lampirkan dalam daftar your-book-boyfriend deh. Matt yang tidak pernah pakai alas kaki karena ingin jadi pelari hebat, Matt kesayangan para campers, dan Matt yang setiap malam selalu menyeret kasur ke luar kabin milik Kate untuk menjaga Kate. Gosh, a boy I loved once did those things for me too, long ago.

Berbeda dari novel YA kebanyakan yang saya baca, unsur relijius di novel ini terasa kental sekali. Iman Kate sepertinya sangat diuji di sini. Dibesarkan sebagai seorang Kristen yang taat, Kate mau tak mau mengernyit ketika tahu bahwa para counselor cowok dan cewek saling berbagi kabin. Atau ketika tahu sahabat Parker ternyata gay. Berada dalam titik terendah dalam hidupnya, Kate harus tetap menyesuaikan diri dengan situasinya yang baru. Nah di sinilah Matt terlibat. Dia yang menarik Kate dari zona nyamannya. Dia yang menuntun Kate menemukan jawaban dan “pertanda” yang selama ini ia cari. Apa akhirnya Kate bisa memaafkan dirinya sendiri?

“Thank you,” I whisper, thinking about how he’s like a four-leaf clover. Something you don’t find often. I’d be stupid to mess things up with him just because he’s in a frat, especially when everything else about him fits just right.

Hubungan yang terjalin antara Kate dan Matt dibangun perlahan tapi dengan landasan yang kuat. I have a soft spot for a handsome goof, espesialy the faithful one. Sayang sekali sampai akhir cerita Kate belum mengalami perubahan yang begitu berarti. Oke, mungkin sedikit. Tapi seharusnya dia bisa lebih dari itu. Dari awal saya punya keyakinan yang cukup kuat buat Kate....yah bisa dibilang saya cukup kecewa sama dia.

Oh ya, di buku ini, Parker dan Will dapat jatah yang cukup banyak ternyata. Dan bikin saya nggak menyesal-menyesal amat skip baca buku tentang mereka wahaha #PLAK. Jordan sama Jacob juga muncul sekilas. Jadi buat kamu yang pengen ketemu sama tokoh-tokoh lama kesayanganmu, buku ini semacam reuni manis buat kalian.

Saya suka banget sama suasana kamp musim panas yang mendominasi setting buku ini. See, pengalaman masa kecil saya tentang kegiatan semacam itu hanya sebatas pramuka XD. Tipikal summer book, buku ini bikin saya pengen cepet-cepet packing dan pindah ke sana, atau minimal tinggal setahun dua tahun lah….ngerasain gimana suasana musim panas yang sebenarnya.

Things I Can’t Forget mungkin bukan salah satu novel YA spektakuler yang saya baca, tapi saya banyak belajar banyak hal di sini. Mungkin saya bakal baca buku Miranda Kenneally lainnya (walaupun buku kelima covernya nggak matching) :D


"Learning is never a bad thing. And neither is changing your mind about things... It's always good to reevaluate. To think and consider all sides."



*Foto utama disadur dari akun milik @teenbooksdaily. Terima kasih Jennifer, sudah mengijinkan saya memakai foto kamu untuk review ini. Please go check her instagram account, she’s so talented!!!!

No comments:

Post a Comment