Monday 11 May 2015

[Book Review] Things We Know by Heart by Jessi Kirby

Things We Know by Heart
penulis Jessi Kirby
304 halaman, YA/ Death
Rating: image
Dipublikasikan 21 April 2015 oleh Harper Teen


Alone. I've felt that way for so long.

400 hari sejak kematian Trent karena kecelakaan, Quinn masih saja diliputi duka dan seolah berhenti menikmati hidup. Dia tidak mendaftar kuliah, berhenti nongkrong bareng teman-temannya, dan menghabiskan waktu hanya untuk menghitung hari-hari pasca kematian Trent. Satu-satunya hal yang membuatnya bertahan adalah 4 orang penerima donor yang masih berhubungan baik dengannya dan keluarga Trent. Melalui mereka, Quinn merasa bahwa Trent masih “ada”. Dia merasa lebih bisa menerima bahwa walaupun dia harus kehilangan Trent, banyak orang yang terselamatkan karenanya.

They say time heals all wounds, but meeting those people that afternoon—a makeshift family of strangers brought together by one person—healed more in me than all the time that passed in the days that had come before.

Trent menyumbangkan 5 organ tubuhnya ketika meninggal. Dari kelima penerima donor itulah, hanya 4 orang yang bersedia untuk “menjangkau” pihak keluarga pendonor. Sang penerima organ jantung, tidak pernah membalas surat yang dikirim Quinn. Awalnya Quinn berusaha mengabaikan perasaan mengganjal ini, tapi lama-kelamaan dia tidak tahan dengan misteri sang penerima organ paling penting bagi Trent ini.

Dimulai dari investigasi kecil-kecilan di internet selama berbulan-bulan dengan mencocokkan semua data yang ada, Quinn akhirnya bisa menemukan sang penerima donor. Pencariannya menuntun Quinn ke sebuah blog milik seorang gadis, yang menceritakan kisah perjuangan sang adik, Colton Thomas, melawan penyakit jantung yang ia derita. Yang hampir merenggut nyawanya, kalau saja organ donor tidak segera tiba.  Operasi sukses, dan kini Colton sudah pulih serta menjalani kehidupan yang nyaris normal. Dan tinggal tidak jauh dari Quinn berada.

Seharusnya Quinn berhenti di situ. Tapi dia merasa dia harus melihat Colton, walaupun dari jauh. (Dari kepo, Quinn ini berubah jadi stalker). Namun takdir rupanya menuntunnya untuk mengenal secara dekat siapa sebenarnya penerima jantung Trent ini.

For so long, I was the one with his heart. I just need to see where it is now.


Sejak awal saya merasa kesulitan untuk menyatu dengan cerita. Banyak sebenarnya yang menyebabkan saya kurang sreg. Yang paling mengganggu adalah sifat Quinn yang mencintai secara berlebihan, bahkan ketika orang yang dicintainya sudah tiada (dia bahkan menyebut dirinya sebagai 18-year-old widow. Hmpfh). Cintanya, membuat dia melanggar beberapa batas (bahkan hukum!) yang mungkin bisa saja menyeretnya ke masalah serius. Hal itu pula, yang membuat hubungan yang dimiliki Quinn dan Colton ini bisa dibilang berlandaskan kebohongan besar—atau rahasia, kalau mau dipandang sebagai hal positif. Karena Quinn sejak awal tidak mengaku siapa sebenarnya dia, dan Colton selalu menyembunyikan fakta bahwa dia pernah sakit dan selalu sembunyi-sembuyi ketika waktu minum obat tiba. Kebohongan/ rahasia/ whatever ini bikin saya bertanya-tanya, jadi yang disuka sama Quinn dari Colton sebenarnya apa? Karena Colton membawa jantung orang yang pernah dicintainya, atau karena lama-kelamaan dia mengenal Colton dan mulai membuka dirinya untuk menjalani kembali hidup dengan bantuan Colton?

As hard as we both tried, and as much as we both wanted it to be otherwise we are made of our pasts, and our pains, our joys and our losses. It’s in the very fibers of our beings. Written on our hearts. The only thing we can do now is listen to what’s in them.

Tapi yang aneh di sini, saya bisa memaklumi sifat Quinn dan lanjut baca sampai tamat. Bahkan menikmatinya! What the heck is wrong with me? Kalau buku lain, pasti sudah saya DNF-kan dan pindah ke judul lain.  

Mungkin alasan utama saya bisa betah adalah gaya penulisan Jessi Kirby ini bagus. Luar biasa bagus. Saya bisa merasakan ketenangan mengalir dari kata demi kata yang dia tulis. Membaca buku ini, menenangkan sekaligus membangkitkan emosi-emosi dari dalam diri saya. Nah, nggak semua penulis bisa menciptakan efek seperti itu ke para pembacanya. Dan please, jangan baca buku ini di publik. Emotional breakdown ain’t pretty.


Things We Know by Heart…. benar-benar sepadan dengan penantian yang saya berikan. Tapi dibandingkan karya Jessi Kirby yang lain, buku ini bukan merupakan yang terbaik. Bagi yang ingin mengenal karya-karya Jessi Kirby, saya sarankan untuk memulai dari buku lain terlebih dahulu. Golden? Moonglas? In Honor? Take your pick!

No comments:

Post a Comment