Good in Bed (Cannie Shapiro #1)
penulis Jennifer Weiner
375 halaman, New Adult/ Chick-lit
Rating:
Dipublikasikan 2 April 2002
New Adult sebenarnya bukan genre yang saya gandrungi. Saya masih
berkiblat sama Young Adult kok sodara-sodarah, soalnya masih pas sama usia saya
yang kinyis-kinyis ini *ditabok*. Tapi karena salah satu resolusi 2016 saya
adalah Read Diverse Books a.k.a. keluar dari
zona nyaman YA, makanya saya coba-coba aja nyicip novel NA kali ini. Bukannya
nggak suka sih sama genre ini. NA yang bagus buanget menurut saya juga banyak.
Tapi saya ngerasa “berat” aja baca novel-novel macam ini. Masalah yang terkandung di dalamnya biasanya sangat
kompleks. Bikin saya nggak mau cepet-cepet jadi dewasa hahaha.
Setelah gagal total baca
Paranormal Romance kemarin, tentu saya agak ketar-ketir dong soal milih NA mana
yang bakal dibaca. Karena saya tuh ngasal milihnya. Tau ada penulis yang
namanya Jennifer Weiner aja baru kali ini, dan usut punya usut, Good in Bed ternyata karya debut dia.
Syukurlah, saya nggak salah pilih. Karena
novel ini bagus banget dan membawa pesan penting bagi pembacanya. Gaya
penulisannya juga bagus, realistis. Top lah untuk ukuran penulis debut waktu
itu.
Protagonis di novel ini—Cannie Shapiro—adalah
seorang jurnalis (why? WHY?? Saya sering banget baca NA yang tokoh utamanya
jurnalis) di Philadelphia Examiner. Hidupnya
sebenarnya biasa-biasa saja. Tapi sejak Bruce—mantan kekasihnya—mendapatkan
pekerjaan baru sebagai penulis rubrik Good
in Bed di Moxie dan menulis artikel “Loving a Larger Woman”, Cannie jadi
merasa insecure. Bruce membeberkan
kehidupan pribadinya bersama si “C”, si perempuan berbadan “di atas normal”
yang seolah-olah tidak ingin dicintai dengan tulus olehnya dan malah terus
bermuram durja atas kondisi badannya.
There were a thousand words that
could have described me—smart, funny, kind, generous. But the word I picked—the
word that I believed the world had picked for me—was fat.
Walapun identitasnya tidak
ditampilkan secara gamblang, orang-orang terdekatnya tahu bahwa si C yang
dimaksud Bruce adalah Cannie. Yang lebih parah, artikel itu juga mengelabui pikiran Cannie sendiri sehingga
dia berpikir bahwa memutuskan Bruce adalah suatu kesalahan. Karena, yaaaah,
lihat saja kondisi Cannie sekarang. Lajang gemuk menyedihkan. Bruce benar-benar mencintainya.
Setidaknya berdasarkan artiker “Loving a Larger Woman” yang dia tulis. Dia harus
mendapatkan Bruce kembali!
Cannie lantas mendaftarkan diri
ke program milik University of Pennsylvania’s Weight and Eating
Disorders Clinic, di mana ia bertemu teman-teman seperjuangan dan Dr. K, dokter ramah yang selalu sabar walaupun Cannie sering memunculkan "masalah" di setiap pertemuan programnya.
“Fat people
aren’t stupid,” I continued. “But every single weight-loss program I’ve ever
been to treats us like we are—as if as soon as they explain that broiled
chicken is better than fried, and frozen yogurt’s better than ice cream, and
that if you take a hot bath instead of eating pizza, we’re going to all turn
into Courteney Cox.”
Cannie tidak tahu bahwa dia akan
mendapatkan petualangan luar biasa yang menyadarkannya bahwa di dunia ini
banyak hal yang jauh lebih penting dibandingkan menurunkan berat badan demi
seorang cowok.
Novel ini mengajarkan kita untuk
mencintai diri sendiri, baik secara fisik maupun mental. Banyak hal penting yang
saya pahami dari novel ini. Secara pribadi, saya kagum dengan usaha Cannie dalam
menemukan jati diri dan kebahagiannya: lajang bukan berarti sendiri, masih ada
keluarga dan sahabat yang siap menemani; memiliki badan yang lebih besar bukan
aib, asalkan sehat dan mampu menopang dan membantu kita dalam menjalani
aktivitas sehari-hari; dan siapa yang butuh cowok menyedihkan yang
menjelek-jelekkan diri kita di muka publik HAHHHHH?????
Mengikuti jejak Cannie sejak awal
sekali, bikin saya agak sedih untuk berpisah dengan buku ini. Dan heck, saya tidak mau spoiler sebenarnya,
tapi saya suka ketika Cannie di akhir cerita akhirnya mendapatkan pekerjaan
yang dulu sempat menjatuhkannya. Sweet revenge,
huh?
“But what we’re really trapped by is
perceptions. You think you need to lose weight for someone to love you. I think
if I gain weight, no one will love me. What we really need,” she said, pounding
the bar for emphasis, “is to just stop thinking of ourselves as bodies and
start thinking of ourselves as people.”
FYI, buku ini sudah diterjemahkan Gramedia lho teman-teman,
bahkan sudah dicetak ulang. Buat yang malas baca versi bahasa Inggris, sok atuh
bisa dijadikan alternatif baca. Dan ini bukan novel erotika lho ya, walaupun
desain sampulnya seperti itu. Kayaknya yang bikin desain sampul agak salah kaprah sama keseluruhan ceritanya -,-
Saya merekomendasikan novel ini kepada semua
pecinta chicklit maupun yang baru menjajal genre ini. Kita butuh lebih banyak novel seperti ini sodara-sodara.