Wednesday 3 February 2016

[Review Buku] Good in Bed oleh Jennifer Weiner

Good in Bed (Cannie Shapiro #1)
penulis Jennifer Weiner
375 halaman, New Adult/ Chick-lit
Rating: image
Dipublikasikan 2 April 2002

New Adult sebenarnya bukan genre yang saya gandrungi. Saya masih berkiblat sama Young Adult kok sodara-sodarah, soalnya masih pas sama usia saya yang kinyis-kinyis ini *ditabok*. Tapi karena salah satu resolusi 2016 saya adalah Read Diverse Books a.k.a. keluar dari zona nyaman YA, makanya saya coba-coba aja nyicip novel NA kali ini. Bukannya nggak suka sih sama genre ini. NA yang bagus buanget menurut saya juga banyak. Tapi saya ngerasa “berat” aja baca novel-novel macam ini. Masalah yang terkandung di dalamnya biasanya sangat kompleks. Bikin saya nggak mau cepet-cepet jadi dewasa hahaha.

Setelah gagal total baca Paranormal Romance kemarin, tentu saya agak ketar-ketir dong soal milih NA mana yang bakal dibaca. Karena saya tuh ngasal milihnya. Tau ada penulis yang namanya Jennifer Weiner aja baru kali ini, dan usut punya usut, Good in Bed ternyata karya debut dia. Syukurlah, saya nggak salah pilih. Karena novel ini bagus banget dan membawa pesan penting bagi pembacanya. Gaya penulisannya juga bagus, realistis. Top lah untuk ukuran penulis debut waktu itu.


Protagonis di novel ini—Cannie Shapiro—adalah seorang jurnalis (why? WHY?? Saya sering banget baca NA yang tokoh utamanya jurnalis) di Philadelphia Examiner. Hidupnya sebenarnya biasa-biasa saja. Tapi sejak Bruce—mantan kekasihnya—mendapatkan pekerjaan baru sebagai penulis rubrik Good in Bed di Moxie dan menulis artikel “Loving a Larger Woman”, Cannie jadi merasa insecure. Bruce membeberkan kehidupan pribadinya bersama si “C”, si perempuan berbadan “di atas normal” yang seolah-olah tidak ingin dicintai dengan tulus olehnya dan malah terus bermuram durja atas kondisi badannya.

There were a thousand words that could have described me—smart, funny, kind, generous. But the word I picked—the word that I believed the world had picked for me—was fat.

Walapun identitasnya tidak ditampilkan secara gamblang, orang-orang terdekatnya tahu bahwa si C yang dimaksud Bruce adalah Cannie. Yang lebih parah, artikel itu juga mengelabui pikiran Cannie sendiri sehingga dia berpikir bahwa memutuskan Bruce adalah suatu kesalahan. Karena, yaaaah, lihat saja kondisi Cannie sekarang. Lajang gemuk menyedihkan. Bruce benar-benar mencintainya. Setidaknya berdasarkan artiker “Loving a Larger Woman” yang dia tulis. Dia harus mendapatkan Bruce kembali!

Cannie lantas mendaftarkan diri ke program milik University of Pennsylvania’s Weight and Eating Disorders Clinic, di mana ia bertemu teman-teman seperjuangan dan Dr. K, dokter ramah yang selalu sabar walaupun Cannie sering memunculkan "masalah" di setiap pertemuan programnya.

“Fat people aren’t stupid,” I continued. “But every single weight-loss program I’ve ever been to treats us like we are—as if as soon as they explain that broiled chicken is better than fried, and frozen yogurt’s better than ice cream, and that if you take a hot bath instead of eating pizza, we’re going to all turn into Courteney Cox.”


Cannie tidak tahu bahwa dia akan mendapatkan petualangan luar biasa yang menyadarkannya bahwa di dunia ini banyak hal yang jauh lebih penting dibandingkan menurunkan berat badan demi seorang cowok.


Novel ini mengajarkan kita untuk mencintai diri sendiri, baik secara fisik maupun mental. Banyak hal penting yang saya pahami dari novel ini. Secara pribadi, saya kagum dengan usaha Cannie dalam menemukan jati diri dan kebahagiannya: lajang bukan berarti sendiri, masih ada keluarga dan sahabat yang siap menemani; memiliki badan yang lebih besar bukan aib, asalkan sehat dan mampu menopang dan membantu kita dalam menjalani aktivitas sehari-hari; dan siapa yang butuh cowok menyedihkan yang menjelek-jelekkan diri kita di muka publik HAHHHHH?????

Mengikuti jejak Cannie sejak awal sekali, bikin saya agak sedih untuk berpisah dengan buku ini. Dan heck, saya tidak mau spoiler sebenarnya, tapi saya suka ketika Cannie di akhir cerita akhirnya mendapatkan pekerjaan yang dulu sempat menjatuhkannya. Sweet revenge, huh?

“But what we’re really trapped by is perceptions. You think you need to lose weight for someone to love you. I think if I gain weight, no one will love me. What we really need,” she said, pounding the bar for emphasis, “is to just stop thinking of ourselves as bodies and start thinking of ourselves as people.”


FYI, buku ini sudah diterjemahkan Gramedia lho teman-teman, bahkan sudah dicetak ulang. Buat yang malas baca versi bahasa Inggris, sok atuh bisa dijadikan alternatif baca. Dan ini bukan novel erotika lho ya, walaupun desain sampulnya seperti itu. Kayaknya yang bikin desain sampul agak salah kaprah sama keseluruhan ceritanya -,-


Saya merekomendasikan novel ini kepada semua pecinta chicklit maupun yang baru menjajal genre ini. Kita butuh lebih banyak novel seperti ini sodara-sodara.

No comments:

Post a Comment