Saturday 24 December 2016

[Review Buku] Tone Deaf oleh Olivia Rivers

Tone Deaf
penulis Olivia Rivers
288 halaman, Young Adult (YA)/ Romance
Rating: 
Dipublikasikan 3 Mei 2016 oleh Sky Pony Press

Ali Collins was a child prodigy destined to become one of the greatest musicians of the twenty-first century—until she was diagnosed with a life-changing brain tumor. Now, at seventeen, Ali lives in a soundless world where she gets by with American Sign Language and lip-reading. She’s a constant disappointment to her father, a retired cop fighting his own demons, and the bruises are getting harder to hide.
When Ali accidentally wins a backstage tour with the chart-topping band Tone Deaf, she’s swept back into the world of music. Jace Beckett, the nineteen-year-old lead singer of the band, has a reputation. He’s a jerk and a player, and Ali wants nothing to do with him. But there’s more to Jace than the tabloids let on. When Jace notices Ali’s bruises and offers to help her escape to New York, Ali can’t turn down the chance at freedom and a fresh start. Soon she’s traveling cross-country, hidden away in Jace’s RV as the band finishes their nationwide tour. With the help of Jace, Ali sets out to reboot her life and rediscover the music she once loved.

Tone Deaf, adalah novel yang saya pilih murni dikarenakan sampulnya yang cantik. Nah, buat kalian yang tertarik juga untuk membacanya….. mungkin harus saya ingatkan lebih dulu ya, kalau di balik sampulnya yang bagus, novel ini memiliki cukup banyak triggers yang lebih baik dihindari oleh pembaca yang sensitif terhadap beberapa isu, antara lain: mental illness (PTSD), child abuse, LGBT (dalam novel ini masuk pada kategori gay), death, addiction, dan depression.  

Cukup banyak juga kan trigger-nya. Novel Young Adult (YA) memang cukup sering mengangkat isu-isu seperti itu, dengan tujuan membuka mata para remaja terhadap masalah-masalah yang ada di sekitar mereka. Saya tidak paham ya kalau di Indonesia sendiri, tetapi konon katanya…. novel-novel YA di luar sana—khususnya yang mengulas tema-tema seperti ini—telah menyelamatkan jiwa banyak remaja dan memandu mereka untuk “survive” dari masa-masa SMP/ SMA yang kejam. Betapa kuat peran dari buku ya, teman-teman.

Sayangnya, novel-novel sejenis ini biasanya memiliki suasana yang suram. Penulis akan berusaha mengulas masalah atau bahkan menyelesaikannya sekaligus, sehingga sepanjang cerita akan terisi dengan konflik demi konflik. Saya, yang tujuan utama membaca di usia-usia sekarang adalah untuk mencari hiburan, merasa bahwa genre seperti ini sudah mulai tidak sesuai. Sudah bukan jamannya lagi buat mencari jati diri hahaha udah ketemu soalnya. Kasus inilah terjadi di novel Tone Deaf.  


Bagi saya, penulis di sini sangat memaksakan chemistry antara dua lakon utamanya, Alison dan Jace. Tema benci jadi suka memang sering dipakai, walaupun tidak semua penulis bisa mengeksekusinya dengan baik. Nah, landasan perubahan emosi Ali dan Jace di sini, bagi saya terkesan kaku dan bahkan tidak masuk akal—walaupun didasari oleh alasan yang jelas. Saya juga tidak terlalu ngefans sama Jace, meski dia diceritakan sebagai seorang penyanyi super terkenal (dan, ehem, katanya ganteng dan agak douchy). Padahal biasanya, lakon-lakon tipe kayak gitu tuh yang jadi demenan saya. Mungkin karena dari awal nggak begitu simpati sama Jace ya, jadi saya nggak begitu semangat buat nge-ship mereka.

Keseluruhan cerita pun terkesan sangat nanggung, seolah-olah penulis dijatah hanya boleh menulis sepanjang 288 halaman sehingga beberapa adegan/ detail harus dia potong. Beberapa bagian tampak terburu-buru, bagian-bagian lainnya tampak tidak begitu penting untuk masuk di cerita (terlalu banyak adegan romantisnya sih menurut saya). Bagian akhirnya itu yang paling gaje. Kalau istilah jawanya sih kesusu, alias ujug-ujug, a.k.a kok tiba-tiba jadi begini sih. Hehehe menurut saya ajasih tapi.



Terlepas dari segala uneg-uneg saya di atas, novel ini juga memiliki poin positifnya sendiri. Untuk novel yang membawa tema child abuse, Tone Deaf mengulas isu ini (dan juga isu-isu yang berkaitan dengannya) secara mendalam. Banyak pengetahuan baru yang saya dapatkan, beberapa di antaranya membuat saya bersyukur karena selalu berada di lingkungan yang sehat dan suportif. Tapi ya itu, sebagai pengetahuan aja, bukan yang saking WAH-nya sampe bisa mengubah hidup saya jadi lebih baik gitu. Mungkin pendapat saya akan jauh berbeda ya jika saya membacanya 5 atau 7 tahun yang lalu, saat Sany masih belasan tahun dan masih lugu. Mungkin….

No comments:

Post a Comment