My therapist friend noted that after writing that one blogpost, my condition seemed to be better. So I should write more. Ini seperti meme Ria Ricis yang, saya pamit.... kemudian nggak lama kemudian, saya kembali (pls tell me you get the reference!). Tanpa malu saya balik lagi dan lagi buat nyerocos hal nggak penting setelah sebelumnya menghilang berpuluh-puluh purnama.
Lantas, apa yang bisa saya yap-kan kali ini?
Mungkin tentang novel yang kemarin barusan tamat, The Borrowed milik Chan Ho-kei (disclaimer: dibaca di Hari Sabtu dan Minggu sambil multitasking berbagai aktivitas nginem sehingga bukan sebuah tanda privilej perempuan tanpa beban keluarga itu, ya).
Please everyone, run to your nearest bookstore! Open you e-commerce apps! Buy books by this man (Chan Ho-Kei not Keigo Higashino)!!
Karena... baik The Borrowed maupun Second Sister tuh bagus bagus BAGUS banget luar dalam. Dalam artian, dari sononya cerita yang disampaikan sudah keren, terus pas diterjemahkan dan diedit juga hasilnya oke banget. Ditambah, cara GPU menata layout dan memilih font-nya tuh RAPI (I shouldn't defend Times New Roman this much, but it really delivered. Credit where credit's due). Ini kenapa ya baru ada dua judul aja yang diterjemahkan? Nggak bisa tiga puluh juta lusin milyar judul lagi aja????
Yang pertama bikin saya suka adalah adalah kualitas penceritaan dari penulisnya sendiri. Chan Ho-kei memakai latar Hong Kong dan benar-benar mengeksploitasinya semaksimal mungkin. Di The Borrowed, masalah sosial politik dari berbagai periode di negara tsb dikupas sesuai sejarah nyata yang terjadi, dari mulai kerusuhan, transisi pemerintahan Tiongkok, dan kepercayaan masyarakat ke polisi. Banyak hal yang bikin mak-deg! karena *ahem* mirip dengan yang terjadi belakangan ini di negara kita. Dan di Second Sister, dinamika sosial digital dan tekanan hidup generasi muda negara tsb difokuskan untuk mendukung cerita. Cyber-bullying yang merenggut nyawa orang tersayang, dibalas melalui kekuatan teknologi juga, an eye for an eye. Sangat menghargai cara penulis showing, not telling. Halus banget lah penyampaiannya, terus didukung dengan kualitas penerjemahan yang bagus seperti yang sudah saya infokan sebelumnya. Saya menggarisbawahi banyak istilah Bahasa Indonesia yang baru saya temui di dua buku ini. Good job penerjemah dan penyunting!
Selain itu, pengaturan narasinya unik. The Borrowed ditulis mundur (reverse chronology) dari tahun 2013 ke 1967, sehingga sebagai pembaca, kita disajikan sudut pandang yang bervariasi dari karakter-karakter yang saling mengenal. Sedangkan di Second Sister, diberi banyak twist, menjadikan pengalaman membacanya jadi selalu mengejutkan. Apalagi di kedua novel tersebut mengandung banyak pengetahuan teknis tentang detektif/intel polisi (The Borrowed) dan hacker (Second Sister). Waktu saya cek, ternyata memang pengalaman pekerjaan Chan Ho-kei mendukung semua itu. Kalau kalian mau menambah pengetahuan surface level terkait dua hal tersebut, memilih belajar dari novel-novel Chan Ho-kei sepertinya lebih "menyenangkan" daripada memilih lewat buku-buku nonfiksi.
Singkatnya sih, dua novel ini menyeimbangkan keinginan saya untuk belajar hal-hal yang sebelumnya sangat awam (biasanya disuplai oleh buku nonfiksi) melalui cara yang menyenangkan (storytelling khas buku fiksi). Jika ROI yang didapatkan dari membaca kedua buku ini terbilang banyak, dengan halaman yang tebal + layout nyaman dibaca, saya rasa harga jual buku terjemahannya masuk kategori murah. Makasih GPU sudah menerjemahkan dua novel favorit saya tahun 2025 ini. Plis sering-sering kerja sama dengan penerjemah dan penyunting yang handle dua judul ini, biar saya lebih rajin mendukung toko buku lokal.
(Hmmm, tidak bisa dipungkiri novel ini menjadi semakin berkesan karena menemani saya pas lagi liat sunset yang kayak lukisan segede layar bioskop)
Sekarang saya bingung, harus baca judul novel dari penulis mana lagi biar bisa dapat dopamine boost seperti ini?
No comments:
Post a Comment