When You Were Here by
Daisy Whitney
264 pages, Young Adult
Contemporary
But how do you find joy in everyday life when you’re dying? I have a hard time finding it, and I’m the one still living.
Jika kamu ditawarkan
novel bersetting Amerika atau Jepang, mana yang kamu pilih? When You Were Here
menawarkan keduanya.
Ketika ibu Daniel
meninggal karena kanker (topik yang umum), Daniel kehilangan satu-satunya orang
yang menopangnya. Ayahnya telah meninggal enam tahun lalu. Laini, saudara
perempuannya, bersekolah di luar negeri dan sepertinya tidak begitu peduli
dengan Daniel, bahkan tidak repot-repot untuk datang ke pemakaman ibunya.Termasuk
Holland, cinta pertamanya, yang mengacuhkannya ketika Holland kuliah. Tapi
setidaknya Holland ada ketika Daniel betul-betul sendirian di upacara kelulusan
yang seharusnya dihadiri ibunya.
This—how I feel for Holland—is the only thing in my life that has remained the same. Everyone I have loved is gone. Except her. Holland is the before and the after, and the way I feel for her is both lethal and beautiful. It is like breathing, like a heartbeat.
So, this, us, was a gift from universe, the thing that made it all survivable. She was the other side of pain.
Impian terakhir ibu
Daniel begitu sederhana. Ia ingin menghadiri upacara kelulusan Daniel. Tapi dua
bulan sebelum kelulusan, ibu Daniel kalah. Lima tahun ia berjuang demi Daniel,
dan tumbang di saat-saat terakhir.
Tiba-tiba datang
sepucuk surat dari Jepang. Kana Miyoshi, anak dari penjaga apartemennya di
Tokyo menjelaskan bahwa barang-barang peninggalan ibunya masih banyak yang
tertinggal. Dari daftar yang dilampirkan, Daniel mulai curiga. Apalagi dengan
kenyataan bahwa ibunya sering mengunjungi Tatsuma Teahouse dan candi (errr….. temple itu candi kan? Atau kuil? Sounds
weird), juga tentang obat-obatan yang tak tersentuh. Tak pernah sekalipun
ibunya menceritakan itu kepadanya.
Rasa penasaran itu yang
mendorongnya untuk pergi ke Tokyo, meninggalkan segala kehampaan semenjak
ibunya meninggal, berharap menemukan kepingan-kepingan kenangan dari ibu yang
begitu disayanginya.
I wish I spoke better Japanese. I wish I could say more than the basics like arigato—thank you—because I’d rather not be the Ugly American who expects everyone to speak his language. But I am. Years of visits, dozens of trips, and I am left bereft of useful language.
Dibantu dengan Kana—yang ternyata berpenampilan nyentrik untuk ukuran orang Jepang—Daniel mengunjungi tempat-tempat yang selalu didatanginya…. Dan mengungkap hal-hal mengejutkan dalam kehidupan ibunya.
**
Novel ini bercerita
tentang seorang anak yang begitu mencintai ibunya. Awalnya saya tidak menaruh
ekspektasi besar pada novel ini. Bagian awal cerita dimulai dengan laaaaambat
beserta tingkah Danny yang nakal tidak karuan. Tapi mau bagaimana,besok adalah
upacara kelulusan, sedangkan seluruh keluarganya (ayah, ibu, dan kakak
perempuan) pergi meninggalkannya sendirian.
Banyak sekali kutipan-kutipan saya bookmark di sini. Terutama ketika Danny
sudah ada di Jepang. Saya suka jalan pikiran Danny yang tenang, memandang
segala hal di sekitarnya dengan damai, menikmati setiap detik yang dia alami. Sepertinya
Jepang membawa perubahan besar bagi hidup Daniel yang berantakan. Sebenarnya
Danny bukan tipe remaja nakal, tapi beban berat selama dua bulan terakhir
membuat dia sulit berpikir jernih. Dia merasa ditinggalkan dan terbuang. Tapi
di Jepang, dia mulai mengerti mengapa ibunya melakukan semuanya (berhenti
meminum obat, menyembunyikan alasan besar kenapa Holland pergi, mengunjungi
tempat-tempat aneh seperti kuil dan Tatsuma teahouse).
Daisy Whitney menggambarkan setiap kejadian dengan teliti, seperti keadaan
jalanan dan hiruk pikuk kota Jepang… masa kecil Danny bersama keluarganya ketika masih utuh, dan hal-hal kecil lainnya. Dia juga memberikan
pandangan yang berbeda tentang pentingnya menghargai hidup, tanpa terkesan
menggurui. Saya sering tiba-tiba merasa makjleb gitu sama kalimat-kalimat dia
yang indah tapi nggak overmellow. Pokonya pas!!
Dan…. akhirnya Danny bisa memaafkan orang-orang yang telah meninggalkan dirinya
sendirian, lalu merengkuh hidup kembali. Seolah-olah diberi kesempatan kedua
untuk menjalanani hidup bersama orang-orang yang dicintainya.
Menurut saya kekurangan novel ini ada ketika Danny mengungkap alasan
Holland pergi. Eksekusinya terasa terlalu terburu-buru, jadi kurang kerasa “feel”nya.
Dan tokoh favorit saya adalah ibu Danny, dengan wig warna-warni ngejrengnya :’)
“And then I will be at your graduation, and I will be wearing a neon wig then, not because I need it, but to embarrass you,” she teased.
Ending novel ini
sebenarnya tidak seperti yang saya duga, tapi malah bikin saya makin suka sama
novel ini :’)
“I like that. I like the idea of saying good-bye to one thing but welcoming another.”