Also
Known As by Robin Benway
320
pages
Being a 16-year-old safecracker and active-duty daughter of international spies has its moments, good and bad. Pros: Seeing the world one crime-solving adventure at a time. Having parents with super cool jobs. Cons: Never staying in one place long enough to have friends or a boyfriend. But for Maggie Silver, the biggest perk of all has been avoiding high school and the accompanying cliques, bad lunches, and frustratingly simple locker combinations.
Then Maggie and her parents are sent to New York for her first solo assignment, and all of that changes. She'll need to attend a private school, avoid the temptation to hack the school's security system, and befriend one aggravatingly cute Jesse Oliver to gain the essential information she needs to crack the case . . . all while trying not to blow her cover.
Maggie, hidup dalam keluarga spy yang bekerja untuk Collective. Sejak
berumur tiga tahun, dia sudah bisa merusak gembok. Dan dari sahabat keluarga,
Angelo, dia belajar memalsukan tanda tangan.
Setelah misi terakhir mereka, Maggie sekeluarga pindah ke New York dan
mendapatkan misi baru. Dan tidak seperti misi-misi lainnya, kali ini Maggie-lah
yang mendapatkan peran penuh untuk menjalankan misi tersebut. Dia, harus mendekati
Jesse Oliver, seorang murid di Harper School, agar bisa mendapatkan akses penuh
untuk mencuri data dari ayahnya, Armand Oliver. Armand adalah pimpinan sebuah
majalah yang (kabarnya) akan menerbitkan artiket tentang Collective, dilengkapi
dengan nama-nama yang termasuk di dalamnya.
Bagi Maggie, misi ini sungguh berat. Apalagi nasib seluruh anggota
Collective ada di tangannya (ingat kan, salah satu adegan di James Bond/
Skyfall ketika identitas spy diungkap? Terutama bagi mereka yang masih menjalankan
tugas dan menyamar. Bad things happen. Really bad). Nah, Maggie yang masih
berumur enam belas tahun pun ingin membuktikan bahwa dirinya mampu sebagai spy
setelah sebelumnya hanya mendapat peran kecil sebagai pembuka gembok dan
brankas. Walaupun itu artinya dia harus mendekati Jesse.
That’s the second rule of being a spy: Be beige. Be beiger than beige, be as average as possible. Be like the cashiers in your grocery store. Could you describe them? Chances are, no. did you see them? Of course. Do you know their names, even if they were wearing name tags? Probably not. It’s like that.
Tema spy memang lumayan sering digunakan penulis (Gallagher Girls,
anyone?). Tapi pas tahu Robin Benway bikin juga, saya langsung semangat. Saya
memang bukan fans utama dari Robin Benway, mengingat baru satu novel yang saya
baca (yah, sekarang dua). Tapi Audrey,
Wait! begitu berkesan bagi saya sampai saya cari-cari karya Robin yang lain.
Karena bertema spy, mungkin ini alasan kenapa ceritanya agak serius. Agak. Sayang sekali ya padahal saya punya ekspektasi bahwa
walaupun Maggie ini spy, dia bisa cukup sarkas. C’mon, I need more fun here.
Apa lagi? Eh iya, saya masih agak bingung sama endingnya. Menurut saya sih
endingnya terlalu biasa untuk novel yang bertema spy thriller. Dan
ada salah satu line yang bikin saya heran.
It’s so, so easy to get info someone’s computer, I can’t even tell you. Password protected? Whatever. All you ever need to hack someone’s computer is a copy of their birth certificate and, sometimes, not even that. If the person’s really famous, they’ve probably already talked about their mom in the news, so boom, there’s the mother’s maiden name. Pets, children’s names, the street where they grew up, their place of birth? They are password clues, and most people use the same password for everything.
Saya kira ada benarnya juga
sih. Tapi kok kebetulan banget komputer-komputer yang dia hack passwordnya
gampang. Semisal nama istri atau nama anak (yang Maggie dapatkan dari hasil
ngobrol-ngobrol ringan sama ybs). Coba bayangin aja, dulu saya pernah mau
nonton film di komputer kelas sejarah, tapi terprotect sama password. Dan teman
saya akhirnya bantuin (yang entah gimana caranya pokoknya dia klik klik klik
terus, misteri yang berapapun dia kasih tau caranya, saya tetep lupa). That’s
all. Dan akhir semester barulah saya dikasih tahu sama si guru bahwa
passwordnya adalah nama salah satu candi di Indonesia. Errrrrrrrr. Who the hell
think about that?
Konfliknya terlalu ringan, jadi
kalau kalian mengharapkan cerita macam James Bond yang pake kejar-kejaran
ditambah sedikit bumbu detektif, yah novel ini nggak sesuai. Tapi tapi tapiiiii
buat kamu yang suka sama cowok cute, lucu, dan pacar-able banget………welcome to
the club. Jesse ini salah satu book boyfriend sebenarnya, tapi karena saya
sudah punya real boyfriend (yang kadang-kadang marah kalau saya muji-muji tokoh
cowok di review huahahaha *ditendang gifar*) saya nggak jadi deh hahahaha.
Robin Benway selalu membuat tokoh cowok yang loveable dan lucu, yang bisa mengimbangi
karakter ceweknya. Jadi nggak ada deh ketimpangan yang begitu besar di antara mereka.
Dan Roux, sahabat Maggie,
juga nyenengin banget. Walaupun masa lalunya membuat dia nggak punya teman di
sekolah, dia masih tetep kuat dan malah akhrinya jadi teman terbaik Maggie.
Dimusuhi temen sesekolah dan masih punya nyali masuk tiap hari? Ugh, saya
salut.
After all Also Known As ini
memang cuma sekadar hiburan ringan dan bukan buat mikir yang serius-serius. Dan
kalau memang mau merekomendasikan novel Robin Benway, saya lebih memilih Audrey, Wait! disbanding ini. Bukan
karena novel ini jelek. Bukan. Cuma karena Audrey,
Wait! lebih pas sama selera.
No comments:
Post a Comment