Saturday, 5 October 2013

Shopaholic Takes Manhattan



Shopaholic Takes Manhattan by Sophie Kinsella
387 pages, Chick-Lit/ Comedy



How could I have been so stupid? What am I going to do now? How can I face anyone, ever again?
 


Kembali dalam kehidupan Becky Bloomwood yang spontan, menyenangkan, dan well… penuh dengan belanja. Apalagi sekarang dia punya pekerjaan menjanjikan sebagai financial expert di acara TV Morning Coffe. Dan dia punya pacar!! Luke Brandon. Iya, Luke Brandon yang itu. Pengusaha sukses pemilik Brandon Communication.

Becky yang gila belanja dan Luke yang gila kerja. Selama ini Becky berusaha maklum dengan Luke yang jarang meluangkan waktu untuknya. Jadi ketika Luke mengajaknya berlibur, Becky senang sekali. Tapi dia tidak pernah menyangka bahwa Luke bakal pindah ke New York—tanpa memberitahunya.

Untungnya, Becky akan ikut ke New York menemani Luke yang akan membuka kantor baru di sana. Tidak apa-apa Luke tidak menyempatkan banyak waktu untuknya. Dia bisa jalan-jalan ke Museum Gunggenheim. Pasti menyenangkan kan melihat kebudayaan di New York? Atau mungkin dia bisa mampir sebentar ke Fifth Avenue. Tidak apa-apa kan mampir sebentar melihat koleksi terbaru Gucci…. atau Tiffany’s…. atau……

Nah kebiasaan gila belanja Becky muncul lagi. Hari demi hari dia habiskan untuk berburu barang yang sebenarnya tidak perlu dan mencari sample sale. Saya jadi gedek-gedek dan berpikir…. Oh tidak, Becky mulai lagi! Seolah-olah pengalamannya yang dulu-dulu masih kurang membuat dia belajar. Sikap Becky yang impulsif dalam belanja membuat saya jengkel dan nyaris berhenti baca novel ini. Sebagai seorang wanita dewasa, dia tidak memiliki pendirian yang kuat terhadap ada yang sudah ia tetapkan atau rencanakan. Semenit yang lalu dia janji akan berhemat, tapi tekadnya langsung goyah ketika melihat diskon atau koleksi terbaru tas desainer. Sebelumnya dia sudah berjanji tidak akan belanja apa pun di New York kepada Suze, tapi akhirnya? Tas belanjaan yang dia jejalkan di lemari hotel hampir menyentuh atap.

Dia juga suka “nyeplos”. Hanya karena dia tidak mau kalah dalam argumen atau menutupi kebohongannya karena belanja, dia jadi nyeplos sekenanya. Nggak pake mikir dulu. Gengsinya tinggi banget. Ini nih salah satu yang bikin Becky sering kena masalah.

Dan ketika surat-surat tagihan dan panggilan datang…. well, bisa dibilang Becky mengabaikannya begitu saja. Dia terlalu takut menghadapi mereka dan malah………… pergi belanja untuk menghilangkan stressnya. Nggak bertanggung jawab banget kan?


Luke Brandon dan Rebecca "Becky" Bloomwood

Sebenarnya buku ini gawat kalo sampe dibaca sama shopaholic yang nggak bisa ngerem keinginan/ngidamnya. Becky pinter banget cari-cari alasan dan pembenaran buat kesalahan-kesalahan yang dia bikin. Kalau ada buku self-help…… novel ini adalah kebalikannya. Novel ini seolah-olah “mendorong” kita untuk membenarkan segala alasan untuk belanja. Padahal hidup ini kan bukan buat shopping baju atau tas atau sepatu aja *uhuk buku uhuk*.

Oke, memang selain membahas “masalah belanja” Becky, masih ada “masalah” lain. Semisal, Luke yang begitu mencintai pekerjaannya. Saya jadi simpati sama Becky yang sering ditinggal Luke kerja, liburan yang berubah menjadi janji meeting, dan hari-hari sepi di hotel ketika Luke mengurus perusahaannya yang sedang gonjang-ganjing. Yang dia tidak tahu, adalah bahwa masalah yang menimpa Becky bakal menyeret Luke juga. Dan mengancam hubungan mereka.




Kalau soal gaya cerita, Sophie Kinsella memang jagoya. Melalui sudut pandang Becky, cerita bisa benar-benar dibuat seperti “hidup”, seolah-olah kita bisa mendengar isi pikiran Becky. Mungkin ini kekuatan dari novel Shopaholic yang terkenal itu.



No comments:

Post a Comment