Thursday, 4 December 2014

[Book Review] September Girls by Bennett Madison

September Girls by Bennett Madison
342 halaman, diterbitkan 21 Mei 2013 oleh Harper Collins
Young Adult

“Ever read a fairytale, Sam? They never end well.”

Suatu kebiasaan yang lagi santer banget saya lakukan adalah memilih buku tanpa membaca sinopsisnya terlebih dahulu. Perasaan terkejut ketika plot cerita tiba-tiba berbelok drastis….pasti tidak bisa saya rasakan kalau saya sudah baca sinopsisnya, because let’s face it….sinopsis mengungkap hampir sebagian besar cerita dan konflik. Sure, terkadang teknik ini bisa jadi bumerang bagi saya, karena bisa saja buku yang saya pilih tidak menarik (that happens a lot), atau yang lebih parah, buku tersebut mengangkat tema yang bagi saya sangat sensitif dan tidak bakal saya pilih jika saya tahu sejak awal.

September Girls adalah salah satu buku yang terpilih dari hasil random browsing ini. Kalau tidak salah, buku ini direkomendasikan oleh Goodreads di fitur baru mereka (rekomendasi yang masuk ke Home, bukan yang di sidebar kanan). Yang bikin saya kesengsem sejak awal adalah covernya yang simpel, cantik, tapi tetap ada unsur misteriusnya yang bikin penasaran. Sebenarnya cover yang pertama saya lihat adalah yang versi hardcover ini…


Sam, kakak laki-lakinya Jeff, dan ayah mereka memutuskan untuk berlibur musim panas di Outer Banks of North Carolina, sebuah keputusan sepihak yang diambil sang ayah atas nama untuk lebih menjalani hidup. Ironi sebenarnya, karena ayah merekalah yang menghabiskan beberapa bulan hidup seperti zombie setelah sang istri mendadak kabur ke Women’s Land.

Sesampainya di sana, keanehan mulai menghampiri Sam. Kemana pun ia pergi, akan banyak cewek luar biasa cantik yang meliriknya (mirip sama iklan Axe yang ada bidadari-bidadari jatuh dari langit). Jeff yang jauh lebih keren dari Sam aja hanya dipandang sebelah mata sama mereka. Gadis-gadis itu tidak hanya memiliki tampang luar biasa rupawan, tapi antara satu dengan lain nyaris mirip, hampir seperti saudara. Atau klan. Mereka sama-sama berambut pirang, memakai make up dan pakaian yang menantang, juga semuanya memakai flatshoes. Dan mereka ada di mana-mana….menjadi pelayan restoran, penjaga toko, penjaga bar, dan lain-lain.

She was beautiful but she wasn’t; she was both beautiful and ugly at the same time. Her face changed the longer you looked at it, and the more you looked at it the more you couldn’t put all the pieces together. Just as it was starting to make sense, it all fell apart. She was a page in a book on a dream where you can’t read.

Mereka selalu tersenyum penuh arti kepada Sam, menantangnya untuk mengambil aksi lebih dulu. Tapi apa sebenarnya yang diinginkan para gadis itu dari Sam? Sedikit demi sedikit, Sam berhasil mengungkap siapa sebenarnya mereka. Tapi ia masih belum mengerti apa yang sebenarnya mereka inginkan dari dirinya. Maka ketika Sam sadar ia mulai jatuh cinta dengan salah satu di antara mereka, dia tahu segalanya tidak akan berjalan dengan baik.

Novel ini dikisahkan dari dua sudut pandang yang ditata secara bergantian antara masing-masing babnya. Yang paling dominan adalah sudut pandang Sam, dan yang satunya adalah dari salah satu Girls (Sam menyebutnya seperti itu sih), Kristle. Bab-bab milik Kristle lebih menceritakan asal-usul bagaimana kaumnya tiba di pantai mistis itu (tau dong, mahkluk apa sebenarnya mereka?). Sebuah terobosan yang cerdas untuk menceritakan detail cerita tapi tetap bisa memakai sudut pandang pertama tokoh utama, karena si Sam masih dibiarkan penasaran, sedangkan para pembaca sudah mulai menyatukan kepingan-kepingan puzzlenya. Ditambah, banyak sekali informasi yang bisa saya gali seputar putri duyung…. tentang asal usul mereka, kehidupan mereka, dan pengetahuan lain yang luar biasa menarik. Tentunya, ini semua murni dari versi sang penulis. Bukan universal.

Our father is the Endlessness. Our mother is the Deepness. Our brothers are Speed and Calm. We are…

Yang perlu diperhatikan adalah novel ini memiliki alur yang lambaaaaaaaatttt sekali. Ibaratnya nih saya sampai harus nyeret diri sendiri buat melalui bab-bab awal. Tapi patut dicatat juga…. ini summer book lho, bukan fantasy atau dystopia yang memang tujuannya buat bikin dag dig dug tarakdungces dan bikin pembacanya jantungan. Sempat beberapa kali berdebat buat menyerah/ dnf dan pindah buku lain. Tapi kalo sama objek benda mati saja saya nggak bisa setia, gimana nasib pacar saya nanti? #EAAAAAAAA


Dan begitulah saudara-saudara, akhirnya pengorbanan saya tidak terbuang percuma. Awal-awal cerita memang hoamh banget karena penulis lagi giat-giatnya buat membangun latar dan penokohan, yang berubah mengikuti perpindahan keluarga Sam. Semakin lama, cerita semakin menguat dan akhirnya saya tidak perlu menyeret diri sendiri lagi (it’s just okay, I guess…. not amazing or anything). Karena sejak awal latar dan aspek-aspek lain sudah dibangun dengan baik….tidak ada bagian yang ambigu atau terkesan out of place. Lagian, saya sudah awal sudah bisa menebak makhluk macam apa si Girls ini.

Mungkin cukup terlambat untuk membaca September Girls di suasana yang sudah autumn seperti ini, tapi hey, summer books symbolizes freedom and I need a goddamn break and freedom right now.



It’s this beach. It’s what it’s all about. This is where people come to disappear.


PS: Review ini saya dedikasikan khususnya untuk New Auhor’s Reading Challenge karena beberapa bulan ini, saya lebih berfokus untuk melahap buku berseri atau buku terbitan author favorit saya. Juga Books in English Challenge…… ditambah Young Adult Challenge….. *eaa sebut aja semua, San*

Sorry I abandoned y’all!


No comments:

Post a Comment