Wednesday 11 May 2016

[Review Buku] When We Collided oleh Emery Lord

When We Collided
penulis Emery Lord
352 halaman, Young Adult
Rating: image
Dipublikasikan 5 April 2016 oleh Bloomsburry USA Childrens

“Maybe we’re dying planets, Jonah, being drawn into darkness.” I hold  my right palm against his cheek, and I wish I could touch him with both my hands. “When we collided, we bounced each other back into orbit. And now we have to do that—we have to return to our own paths because that’s what we gave each other.”

Vivi sangat menyukai Verona Cove, tempat tinggalnya yang baru. Dari pantainya yang indah, suasananya yang menenangkan, hingga warga lokalnya yang ramah. Dia ingin tinggal di Verona Cove selamanya, tidak hanya pada musim panas ini saja.

Hingga tidak sengaja Vivi masuk ke kehidupan Jonah dan kelima saudaranya. Sosok Vivi yang ceria, penuh energi, dan unik tanpa dia sadari telah menghilangkan awan duka di keluarga Jonah. Jonah, bersama dua kakaknya yang sepanjang waktu tinggal di Verona Cove, selama enam bulan belakangan kepayahan dalam mengurus adik-adiknya sejak kematian sang ayah. Dia juga harus mengurus ibunya yang menolak bangun dari tempat tidur, sambil tetap bekerja di restoran peninggalan ayahnya, Tony’s. Vivi dengan segala keceriannya berhasil membuat musim panas ini menjadi jauh menyenangkan bagi Jonah dan keluarganya.



“Diego kept saying he felt like he should be able to control it. Like, he wanted to reason his way out of it. Because it’s your own mind, right? But of course it doesn’t work that way. Sometimes you just need medicine.”

Saya suka bagaimana Emery Lord mengemas cerita. Sejak awal pembaca bakal sadar kalau ada sesuatu yang salah dengan Vivi. Pembaca bakal tahu bahwa Vivi mengalami masalah dengan kondisi mentalnya walaupun tidak akan dijelaskan secara langsung sepanjang cerita; semua terlihat dari gerak-gerik Vivi. Penggambaran bagaimana perilaku penderita bipolar disorder pada novel ini terbilang realistis dan pas. Dan walaupun buku ini mengusung tema mental health, cerita tidak disajikan in a depressing way.  Penulis juga tidak berusaha meromantiskan sebuah penyakit mental, yang menurut saya adalah hal yang cukup jarang dilakukan penulis-penulis novel bertema mental health di luar sana. Novel ini menjadi bukti bahwa kita tidak perlu meromantiskan penyakit mental dengan berjuta-juta metaphor demi menghasilkan sebuah cerita yang indah.

“Why is that? All the you-were here?”

“Because it’s all so fleeting, isn’t it? The ocean existed so long before us and will stay long after us—most trees, too, and some animals. Isn’t that crazy? My dress collection will live longer than I ever will.” I can’t help the sigh that slips out. Oh, how I’d love to be eternal in one life. “I’m just looking for some kind of permanence, so my mark will linger on the world once I’m gone, in the places where I found joy. Does that make any sense?”

Beberapa tokoh pun berhasil mencuri hati saya. Yang nomor satu tentunya adalah Jonah Daniels, si ganteng penyayang dengan kemampuannya mengolah makanan lezat. Dia masuk dalam jajaran book boyfriend saya di tahun 2016, lho! #PENTING (ugh daftar book boyfriend saya tahun ini masih sedikit sekali, dan kalau cari cowok taksiran di dunia fiksi aja susah gimana caranya saya dapet calon imam yang eligible haaaaaahhhh?). Yang kedua, I cannot believe myself for saying this, tapi kemunculan Officer Hayashi dalam beberapa bagian cukup bikin saya mesem-mesem. He’s so cute!!! Bisa dibilang Officer Hayashi ini teman pertama Vivi di Verona Cove, dan saya bahagia mereka bisa saling melindungi satu sama lain.

Overall, saya sukaaaaaaaakkkk sekali sama novel ini. Another masterpiece from Emery Lord. Dia tuh penulis berbakat yang harus kalian eksplor laaaah karya-karyanya. Open Road Summer, novel debutnya, merupakan novel paling favorit bagi saya tahun lalu. The Start of Me and You, yang sudah saya bikin reviewnya di sini, juga nggak kalah bagus. Pokoknya saya sangat merekomendasikan kalian buat baca semua karya Emery Lord!

No comments:

Post a Comment