Wednesday, 16 December 2015

Kontroversi di Balik Desain Ulang Cover The Winner's Trilogy

Beberapa hari ini dunia perbloggerbukuan sedang dihebohkan oleh kabar dari Fierce Reads yang akan merombak total cover dari The Winner's Trilogy karya Marie Rutkoski. Saya, yang seharusnya anteng dan tetap fokus ngerjain skripsi, mau nggak mau tertarik untuk berhenti sebentar demi nyimak dengan seksama fenomena yang menimbulkan serangan demi serangan ke pihak-pihak yang terlibat. Mind you, saya belum membaca seri ini karena buku terakhirnya belum terbit. Namun untuk memberi pencerahan kepada kalian seperti apa sih akar dari permasalahan yang semakin merembet ke mana-mana ini, mari kita bandingkan cover Before dan After-nya saudara-saudara:





Yang kiri, adalah cover lama yang sudah beredar luas. Sedangkan yang sebelah kanan adalah cover baru yang akan menggantikan cover lama untuk versi hardcover dan softcover. Perlu saya tekankan sebelumnya, buku ketiga (The Winner’s Kiss) belum terbit. Jadi mungkin sebagian besar inti protes para pembaca adalah takdir tak terelakkan bagi pecinta buku kalo set buku mereka tidak akan matching. Ya apa benar?

Well, mungkin. Kami para book lovers memang secerewet itu mengenai masalah sampul buku. Sangatlah tidak masuk akal ketika penerbit mengganti desain cover di tengah-tengah ketika seri belum tamat. Dan mungkin ini sebatas pendapat subjektif saya (dengan diamini ribuan book lovers lain), tapi desain cover lama jauh lebih bagus dari pada yang baru. Saya mengutip dari mereka-mereka yang sudah baca, desain cover baru bahkan tidak nyambung dengan cerita yang dijanjikan. Kestrel, sang protagonist, bukanlah “pendekar yang akan berjuang menyelamatkan dunia” layaknya Katniss Everdeen atau Celaena Sadorthien. Saya di sini juga gantian mengamini para blogger lain yang berpendapat bahwa cover ini sedikit mengingatkan dengan desain cover Throne of Glass series (bahkan pose pada The Winner’s Curse mirip sekali dengan buku kedua dr ToG, Crown of Midnight).

Tentu masalah tidak akan berbuntut panjang kalau pihak Fierce Reads tidak memberikan pernyataan kontroversional bahwa alasan mereka merombak total desain covernya adalah untuk membuat “lebih banyak orang membaca seri ini” dan “cewek bergaun tidak tampak badass”.


Seperti diduga, muncul banyak reaksi negatif setelah pernyataan itu diberikan (tweet itu sendiri sudah dihapus oleh pihak Fierce Reads). Cewek badass tidak dilihat dari apakah dia memakai gaun atau tidak. Bahkan menurut sinopsis, Kestrel sejak awal sudah menolak keinginan ayahnya untuk bergabung dengan militer. Kestrel adalah tokoh yang sangat pintar dan licik yang menggunakan kecerdasannya untuk memanipulasi politik. Menurut saya itu sudah badass, dan tidak harus dilakukan dengan menggunakan celana. Tindakan Fierce Reads yang meng-Katnis Everdeen-kan Kestrel ini tentu ditolak mentah-mentah oleh para pembaca setia The Winner's Trilogy, karena menyerupakan seri ini dengan THG maupun ToG justru menghilangkan unsur unik yang sebelumnya dipamerkan seri ini melalui covernya.

Masalah “cewek bergaun tidak badass” pada akhirnya akan memunculkan stereotip bagi pembaca bahwa untuk menjadi seseorang yang hebat, perempuan harus mengikuti aturan-aturan tertentu yang akan membatasinya dalam berkembang. Menjadi feminim tidak akan membuat seorang perempuan menjadi “kurang keren”. Hal ini patut diperjuangkan karena para pembaca YA kebanyakan adalah remaja yang masih mencari jati diri. Jika sejak awal mereka dicecoki teori bahwa menjadi feminim akan membatasi perempuan untuk menjadi apa yang mereka inginkan, nilai-nilai feminisme akan dijauhi bahkan ditinggalkan oleh pemilik gendernya sendiri.

Saya mengerti Fierce Reads bermaksud untuk membidik pasar yang lebih luas, dengan harapan tidak hanya perempuan saja yang menikmatinya tapi juga laki-laki (karena akui saja, mayoritas cowok akan berpikir dua kali untuk membaca buku bersampul seperti ini, apalagi membacanya di tempat umum). Atau mungkin mereka bermaksud untuk meniru kesuksesan dari franchise The Hunger Games, Throne of Glass, dan sejenisnya dengan membuat heroinnya nampak lebih “sangar” dalam balutan seragam tempur lengkap dengan senjata. Apapun alasan di balik desain ulang cover ini, keputusan mereka justru menjadi bumerang bagi Fierce Reads. Komentar negatif dilontarkan banyak pihak, baik secara langsung kepada mereka maupun melalui blogspost (yaa kayak saya ini).

Marie Rutkoski, sebagai penulis yang hanya memiliki kuasa akan jalan cerita—dan tidak ada andilnya dalam perombakan desain sampul—merupakan pihak yang kena apesnya. Kritikan pun dilontarkan kepada sang penulis, padahal ia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mencoba menenangkan pembacanya. Sudah berhari-hari, masiiiih aja ada yang protes ke dia. Kan kasihan. Really dude, you shoulda stop it.

Salah satu sisi positif dari masalah ini adalah saya lebih aware dengan keberadaan The Winner Trilogy. Kalau sebelumnya saya hanya mengagumi dari jauh, sekarang saya benar-benar tertarik untuk membacanya. Entah apakah ini tujuan utama mereka bikin kehebohan ini, atau saya emang orangnya salah fokus. Tapi beneran deh, saya jadi penasaran.


XO, 
Sany yang sedang mangkir dari skripsi

PS: buat kamu yang sudah terlanjur koleksi buku dengan cover lama dan nggak pengen mismatch, penerbit UK dan Australia sudah memberikan pernyataan bahwa mereka akan tetap menerbitkan buku ketiga dengan desain cover lama. YAY!


EDIT 12 JAN 2016:

Pihak Fierce Reads sudah mengumumkan pembatalan penggunaan desain sampul baru pada BUKU KETIGA VERSI HARDCOVER. Sedangkan desain baru tetap dipakai untuk versi paperback. Yeah, okay. I guess. I still cringe everytime I look at the new covers, though.

Thursday, 12 November 2015

[Book Review] Gone Girl by Gillian Flynn

Gone Girl
penulis Gillian Flynn
422 halaman, Misteri/ Thriller
Rating: image
Dipublikasikan 22 September 2014 (First published June 2012)

What are you thinking, Amy? How are you feeling? Who are you? What have we done to each other? What will we do?

Di kota kecil Missiouri, seorang wanita cantik dilaporkan menghilang oleh sang suami tepat di ulang tahun pernikahan mereka yang kelima. Pintu rumah terbuka lebar dan terdapat barang-barang yang menunjukkan adanya bekas kekerasan. Polisi beserta detektif kompeten dilibatkan, simpati datang bertubi-tubi, dan reporter nasional bergerombol untuk mengabadikan tragedi hilangnya Amy Elliot Dunne.

Namun sejak awal terdapat banyak kejanggalan dalam kasus ini. Sang suami, Nick Dunne, seakan setengah hati dalam melakukan pencarian istrinya. Kebohongan demi kebohongan dia lempar ke polisi, hingga semakin lama bukti-bukti muncul untuk menjeratnya. Publik berbalik menyerang dan menuduh bahwa Nick sendiri yang membunuh istrinya. Apa yang sebenarnya terjadi pada Amy? Siapa yang salah?

He was the first naturally happy person I met who was my equal. He was brilliant and gorgeous and funny and charming and charmed. People liked him. Women loved him. I thought we would be the most perfect union: the happiest couple around. Not that love is a competition. But I don’t understand the point of being together if you’re not the happiest.

----------------------

Her mind was both wide and deep, and I got smarter being with her. And more considerate, and more active, and more alive, and almost electric…..

Menurut saya, Gone Girl ini adalah karya jenius. Sadis namun tetap menyuguhkan unsur romance yang dalam, menjadikan saya berkali-kali bergidik setiap cerita berbelok ke arah lain. Ada JUTAAN belokan di novel ini, dan pertanyaan “Apa yang sebenarnya terjadi pada Amy?” sudah terjawab sejak bagian awal cerita, membuat saya bertanya-tanya kegilaan apa yang sebenarnya dijanjikan oleh Gillian Flynn. Namun karena saya bukan pembaca setia genre misteri dan thriller, pendapat saya ini tidak begitu valid dan sedikit bias (sepertinya saya agak termakan hype filmnya karena saya ngefans dengan Rosamund Pike, si aktris pemeran Amy). Saya baru membaca sedikit buku misteri, dan in my humble opinion, saya merekomendasikan buku ini bagi kalian yang mencari referensi buku bacaan misteri/ thriller. 

FYI Gramedia sudah menerjemahkan buku ini dengan judul Gone Girl (Yang Hilang), disusul dengan karya Gillian Flynn lain, Dark Places (Tempat Gelap).



Dan review ini saya tutup dengan kutipan paling DEG!!! dari buku ini:

You’d think all women do is clean and bleed.


Wednesday, 7 October 2015

Hey, I'm Back (Mostly)

Dari semua hal yang saya abaikan beberapa bulan ini, blog inilah yang paling parah. Sulit untuk berkonsentrasi menulis dan membaca novel ketika disibukkan oleh beberapa hal berturut-turut. KKN yang paling menyedot perhatian saya. Dibuang selama sebulan lebih di tempat antah-berantah yang sinyalnya naik turun bersama 8 mahasiswa plengeh lain membuat saya tidak sempat menyentuh ereader saya (ya, buku fisik terpaksa ditinggal demi alasan praktikal). Tapi saya tidak menyesali keputusan itu. 8 orang yang beberapa bulan sebelumnya benar-benar tidak pernah saya temui dan kenal dengan baik itu adalah sahabat dan keluarga baru saya, yang hingga kini masih berhubungan dengan sangat baik.


Kini setelah memasuki semester baru dan bebas memegang buku lagi DENGAN bayang-bayang skripsi di depan, saya jadi berpikir….apakah ini saat yang tepat untuk kabur, lagi? Sampai kapan? Walaupun, yah, sebenarnya skripsinya pun belum dikerjakan, rasa tidak tenang ketika nyelimur selalu terasa. Dan itulah yang membuat saya tidak begitu semangat membaca novel akhir-akhir ini.


Baru kemarin saya berhasil menamatkan satu buku secara tuntas, dari halaman awal hingga akhir tanpa lompat; Percy Jackson's Greek Gods karangan Rick Riordan. Buku yang sebenarnya bukan tipikal bacaan saya dan tidak bisa dikategorikan sebagai novel, melainkan sebuah buku sejarah yang sangat asyik untuk dibaca. Dalam hati saya mengagumi diri sendiri karena keluar dari reading slump/ reading block tidaklah mudah. MAN, THE AGONY. Reading slump itu, ditambah beberapa situasi yang terjadi, mengubah preferensi buku apa yang ingin saya baca. Saya adalah pembaca buku, dan saya akan membuat buku (emm, skripsi lebih tepatnya). Jadi saya akan memanfaatkan segala yang bisa saya manfaatkan agar skripsi ini cepat selesai (cough, judul, cough).


Hmm jadi mohon dimaklumi kalau beberapa bulan ke depan blog ini akan sepi atau muncul postingan-postingan yang berbeda dari sebelum-sebelumnya. I need this. I CAN do this.

Sunday, 21 June 2015

[Book Review] Someone Like You by Sarah Dessen

Someone Like You
penulis Sarah Dessen
281 halaman, YA/ Realistic Fiction
Rating:  image
Dipublikasikan 1 Mei 1998 oleh Penguin

Because life is an ugly, awful place to not have a best friend.

Cerita dimulai ketika Halley harus meninggalkan camp musim panasnya dua minggu lebih awal setelah mendapat telepon dari Scarlett, sahabatnya. Dari telepon itulah Halley tahu bahwa Michael Sherwood, laki-laki yang dicintai Scarlett, baru saja meninggal. Dan lebih parah lagi, Scarlett rupanya mengandung bayi hasil hubungannya dengan Michael.

Sebagai sahabat yang sejak dulu selalu ditopang Scarlett, Halley merasa sekaranglah waktunya ia bertukar peran dengan sahabatnya itu. Scarlett membutuhkannya, dan dia bertekad untuk selalu ada serta mendukung keputusan Scarlett untuk mempertahankan bayinya. Namun ibu Halley yang seorang terapis membuat segalanya menjadi “alot”. Bagi ibunya, Halley mulai menunjukkan tanda-tanda sebagai remaja berontak. Apalagi sejak Halley dekat dengan Macon—sahabat Michael yang serba spontan dan populer—semakin renggang-lah hubungan ibu dan anak itu. Ibunya kemudian berusaha untuk “meredam” kenakalan anaknya ini menggunakan cara-cara yang malah semakin membuat Halley berontak. Tipikal orang tua, huh?

“Why don’t you ever wait a second and see what I’m planning, or thinking, before you burst in with your opinions and ideas? You never even give me a chance.”

Hal ini sempat membuat saya berpikir bahwa dalam novel-novel Dessen, mayoritas konfliknya muncul dari sosok ibu; mulai dari yang egois, overprotektif, pekerja keras hingga melupakan keluarga, tak acuh, suka mengatur, dan sebagainya. Sedangkan sosok sang ayah lebih seperti buffer, kalah peran dengan sosok ibu dan hanya muncul sebagai “pengurang” efek penghancur tanpa memberikan solusi bagi konfliknya. Penyelesaian konflik, hampir selalu hadir sebagai buah kerja keras karakter utama aka si remaja.  Memang benar jika karakter utama haruslah berkembang, dan tidak jarang pengembangan tokoh ini muncul setelah adanya konflik. Namun bakal lebih pantas jika sosok ayah ikut andil dalam penyelesaian konflik ini. Bagaimanapun, ayah adalah kepala keluarga yang posisinya di atas ibu. Just do your freakin' job okay, Dad?



Sosok Halley menghadapi beberapa konflik sekaligus. Walaupun di sini Scarlett lah yang mengalami masalah besar, Halley turut menopang dan mendukung keputusan Scarlett. Di sisi lain Halley juga sedang memulai hubungan dengan seorang cowok, sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Dua masalah itu dan masih ditambah dengan tekanan dari ibunya, saya cukup takjub karena si Halley ini tidak "meledak". Man, this year ain't picnic for Halley. Bagaimana cara Halley menghadapi semuanya bisa kalian ketahui di novel ini.

***

Someone Like You sepertinya termasuk karya Dessen yang tidak begitu populer bila dibandingkan karya-karyanya yang lain. Mengambil tema teenager’s pregnancy (yang mungkin tidak akan saya baca jika saja saya tahu sinopsisnya terlebih dahulu), sekali lagi Dessen menunjukkan kepiawainya untuk menunjukkan pada kita potret kehidupan remaja yang dihadapkan masalah besar sebagai konsekuensi dari tindakannya (walaupun mereka sudah super hati-hati). Cuma di sini Dessen “membuang” sosok si ayah bayi dari cerita, sehingga membuat pembacanya bertanya-tanya apa yang bakal terjadi seandainya Michael masih hidup. Apakah Michael (yang ketika awal-awal bertemu Scarlett sangat baik dan romantis) akan bersedia bertanggung jawab? Atau segala tingkah baik Michael ini hanyalah kesan pertama saja yang nantinya akan semakin luntur dan mulai menunjukkan watak aslinya? Segala what-ifs inilah yang membuat Someone Like You ini berbeda.

Nah guys memang benar kalau novel-novel karya Sarah Dessen tuh penting bagi remaja—khususnya cewek. Cukup sedih karena saya baru menyadarinya di usia yang sudah agak terlambat ini (DI MANA BUKU-BUKU DESSEN WAKTU SAYA MASIH AWAL-AWAL BELASAN HAAAAHHHH???). Bagi saya, Sarah Dessen sudah saya anggap sebagai guru kehidupan: karena dia sudah membuka cara pandang saya terhadap bagaimana seharusnya menghadapi masalah-masalah yang saya hadapi dan bagaimana seharusnya seorang cewek bertindak. Dan membaca novel-novel Sarah Dessen di masa sulit terasa seperti pulang…. kemudian bertemu dengan sahabat lama.

(Desain baru cover Someone Like You. Sama seperti cover atas dengan gambar kaki di pasir pantai, saya juga nggak ngerti apa maksud dari gambar kupu-kupu di dalam toples ini).



Kutipan-kutipan penting dalam novel ini:

I had no idea what to do or what came next. All I knew was that she needed me and I was here. And for now, that was about the best we could do.

“I’ve given lots of people chances,” she said suddenly, as if Marion was still in the room to hear her. “But there’s only so much faith you can have in people.”

“Don’t be a fool. Don’t give up something important to hold onto someone who can’t even say they love you.”

I deserved to grow, and to change, to become all the girls I could ever be over the course of my life, each one better than the last.

“I told him he wasn’t what I’d thought he was,” I said. “That he let me down, and I couldn’t see him anymore. And I said goodbye.”

Like everything else, she’d made her choice and she’s stick to it, everyone else be damned.

There are some things in this world you could rely on, like a sure bet. And when they let you down, shifting from where you’ve carefully placed them, it shakes your faith, right where you stand.

Wednesday, 17 June 2015

Wishful Wednesday #22


Ezra Faulkner, cowok paling populer di sekolah, percaya bahwa semua orang pasti akan mengalami tragedi. Begitu pun dirinya. Pada suatu malam, pengemudi ceroboh menabrak Ezra sehingga menghancurkan lutut, karier atletik, dan kehidupan sosialnya.

Saat tersingkir dari kalangan anak keren, ia berkenalan dengan Cassidy Thorpe. Gadis itu melibatkan Ezra dalam petualangan tak berkesudahan. Namun, ketika asyik dengan persahabatan dan kisah cinta baru, Ezra jadi tahu bahwa ternyata ada orang-orang yang ia salah artikan.

Akibatnya, ia sekarang berpikir: kalau kecelakaan kemarin sudah menghantam dan mengubah seluruh hidupnya, apa yang akan terjadi jika tragedi lain menyusul?

Dahulu kala saya sudah pernah membuat review mengenai The Beginning of Everything. Buku ini merupakan salah satu life changing book bagi saya, bahkan di masa-masa awal saya membaca YA. Nggak heran lah kalau kesan saya sama daya “magis” buku ini kental sekali. Dan YESSSSS akhirnya penerbit Indonesia menerjemahkannya juga. Dari sinopsisnya sih sepertinya terjemahannya menjanjikan, tapi saya sudah pernah trauma sama buku favorit yang diterjemahkan dan malah jadinya jelek (uhuk There You’ll Find Me uhuk) jadi sepertinya masih harus mikir beberapa kali dulu ya sebelum memutuskan membeli ini.

Buku ini mulai terbit tanggal 22 Juni 2015 dan buat kalian yang penasaran sama ceritanya……….. GO GRAB ITTTTTTT.


Sunday, 31 May 2015

PS I Still Love You's Precious Quotes


God, why do I have to be a person who yearns so much? How horrible. How perfectly horrible.

I can see now that it’s the little things, the small efforts, that keep a relationship going. And I know now that in some small measure I have the power to hurt him and also the power to make it better. This discovery leaves me with an unsettling, queer sort of feeling in my chest for reasons I can’t explain.

“What will I do now that Peter’s not my boyfriend anymore?” I wonder out loud.
“You’ll just do what you did before he was your boyfriend, Alicia says. “You’ll go about your day, and you will miss him at first, but over time it will ease. It will lessen.”

“All you need is time, and you, little one, have all the time in the world.”

“I deserve better than that, you know? I deserve….. I deserve to be someone’s number one girl.

To feel so known, so understood. It’s such a wonderful feeling, I could cry. It’s something I’ll keep forever.

All this time I’ve been making excuse for him. I’ve been trusting Peter and not trusting my own gut. Why am I the one making all these concessions, pretending to be okay with something I’m not actually okay with? Just to keep him?

“Here’s the thing. My one piece of advice to you. You have to let yourself be fully present in every moment. Just be awake for it, do you know what I mean? Go all in and wring every last drop out of experience.”


Dear Lara Jean,
Well done.

Sany

Saturday, 23 May 2015

Scene on Three [3]


I don’t hold back. It’s like having a conversation with the book. It tells me things and I respond with semi-illegible scrawling, and exclamation points, and wild circles around phrases that hit me really hard. We talk like that all night, A Little Princess and I. With only one lamp on and my red-framed glasses in the next room, I have to hold the book so close to my face that I can smell the pages, and it makes it even easier to get lost in this other world.Life by Committee by Corey Ann Haydu

Ini semua dimulai ketika saya iseng main-main di situs Youtube dan nyasar ke sebuah akun milik Ariel Bissett. Salah satu video booktube-nya, Annotating Your Books, begitu mengubah jalan pikir saya mengenai bagaimana selama ini saya memperlakukan buku fisik yang saya punya/ pinjam/ baca. Pra-Ariel, saya adalah penimbun dan pembaca buku yang sangat protektif terhadap koleksi saya: kalau baca harus jauh-jauh dari makanan dan minuman (KALAU KETUMPAHAN GIMANA HUAAAAA), pantang membuka buku terlalu lebar biar lem jilidnya nggak rusak; mau menandai halaman penting? HARUS pake post-it/ sticky notes; ada sampul atau halaman yang nggak sengaja tertekuk? Mewek tiga hari tiga malam.


Awalnya memang cukup skeptis dengan masalah corat-coret buku ini. Namun setelah bereksperimen dengan salah satu buku yang saat itu sedang saya baca, ternyata sangat menyenangkan!! Annotating Your Books, membuat pengalaman membaca jadi jauh berbeda (in a good way) karena saya merasa bebas mengekspresikan apa yang saya pikirkan ketika membaca adegan-adegan menarik melalui tulisan-tulisan kecil yang saya coretkan di marginnya. Seperti kutipan di atas: It’s like having a conversation with a book! Dan walaupun belum pernah saya coba, sepertinya Annotating Your Books ini bakal membuat pengalaman meminjamkan buku ke teman menjadi lebih seru karena seolah-olah kita berada di balik bahu mereka untuk membisikkan pendapat kita sepanjang cerita. Hihi.

Annotating Your Books bakal terasa mengasyikkan jika kamu memilih buku yang tepat. Tonton videonya dulu sebelum protes ok? J



Bagikan Scene of Three mu hari ini:
1.       Tuliskan suatu adegan atau deskripsi pemandangan/manusia/situasi/kota dan sebagainya dari buku pilihan kalian ke dalam suatu post.
2.       Jelaskan mengapa adegan atau deskripsi itu menarik, menurut versi kalian masing-masing.
3.       Jangan lupa cantumkan button Scene on Three di dalam post dengan link menuju blog Bacaan B.Zee.
4.       Masukkan link post kalian ke link tools yang ada di bawah post Bacaan B.Zee, sekalian saling mengunjungi sesama peserta Scene on Three.
5.       Meme ini diadakan setiap tanggal yang mengandung angka tiga, sesuai dengan ketersediaan tanggal di bulan tersebut (tanggal 3, 13, 23, 30, dan 31).

Monday, 18 May 2015

[Book Review] Aristotle and Dante Discover the Secrets of the Universe

Aristotle and Dante Discover the Secrets of the Universe
penulis Benjamin Alire Sáens
368 halaman, YA/ LGBT
Rating: image
Dipublikasikan 21 Februari 2012 oleh Simon & Schuster


We all fight our own private wars.

Trigger Warning: LGBT (lesbian, gay, bisexual, and transgender) 

Aristotle and Dante Discover the Secrets of the Universe mendapat perhatian dan pujian yang cukup besar di kalangan pembaca YA. Hype yang dibawa oleh buku ini sebenarnya sangatlah overwhelming (terlihat dari stiker-stiker penghargaan yang hampir menutupi sampul bukunya) dan sempat membuat saya ragu untuk memilihnya sebagai bacaan bulan ini. Lalu kemudian saya berpikir…. Dammit, I can read whatever I want.


And so I did.

Bagaimana menceritakan buku ini? Saya tidak tahu. Tidak ada plot cerita yang jelas. Singkatnya mungkin seperti ini: Aristotle (kemudian dikenal sebagai Ari) adalah seorang anak laki-laki dengan berbagai konflik di dalam dirinya. Suatu ketika Ari pergi ke kolam renang, dan dia bertemu Dante. Mereka kemudian menjadi sahabat.

Hubungan Ari dan Dante ini…. belum pernah saya temui di buku-buku YA lain. Mereka seperti bergravitasi satu sama lain. Berbeda dengan Ari yang senantiasa diliputi amarah dalam dirinya, Dante ini begitu murni. Dia adalah anak laki-laki paling manis di dunia dengan jiwa paling bebas yang pernah saya temui. Dante inilah yang mampu merubah cara pandang Ari terhadap dunia.

As Dante was watching me search through the lens of a telescope, he whispered, “Someday, I’m going to discover all the secret of the universe.”
That made me smile. “What are you going to do with all those secrets, Dante?”
“I’ll know what to do with them,” he said. “Maybe change the world.”
I believed him.

Dari teknik penulisan yang didominasi oleh percakapan antar tokoh (sampai kadang saya bingung line ini yang ngomong siapa, line berikutnya yang ngomong siapa), saya dapat lebih merasakan interaksi antartokoh. Seolah saya berada di sana, langsung mendengarkan mereka bertukar kata. +1.

Mungkin ini yang bisa saya katakan kenapa Aristotle and Dante Discover the Secrets of the Universe bisa begitu dicintai pembacanya: gaya penulisannya begitu indah dan jujur. Dan terasa seperti naik roller coaster. Di beberapa bagian (terutama di awal) akan terasa dataaaaar karena buku ini hanya menceritakan kehidupan dua remaja biasa dan persahabatan mereka yang bisa dibilang juga cukup biasa. Alurnya cukup lambat dengan beberapa kejadian penting muncul. Mungkin satu dua baris akan menarik perhatian saya. Kemudian saya melanjutkan baca dan tiba-tiba…. BAM!!!! I CAN’T BREATHE! Kelak saya tahu kalau Benjamin Alire Sáens ini adalah seorang pujangga. Asdfghjkl.


Orangtua Ari dan Dante memegang peran sangat besar di sini. Mereka bahkan mendapat porsi yang hampir sama dengan Ari dan Dante sendiri. Hal yang tidak banyak ditemui di YA lain. Hubungan Ari dan Dante dengan masing-masing orang tua mereka mendapat perhatian besar dari saya, terutama ketika mereka saling bercanda. They had unique senses of humor. Sayang tokoh Susie Bryd dan Gina kurang dieksplor oleh penulis, sehingga membuat kemunculan mereka seolah hanya untuk membangkitkan/ menyelesaikan masalah yang dihadapi Ari.

"It's just that sometimes I have things running around inside me, these feelings. I don't always know what to do with them. That probably doesn't make any sense."

Tema LGBT yang diangkat oleh novel ini mungkin tidak begitu kontroversial di luar sana, tapi di masyarakat yang masih memegang unsur agama yang kuat akan muncul beberapa ketidakcocokan. Novel ini berusaha sejujur mungkin menggambarkan bagaimana nasib para LGBT (dalam kasus ini gay) di kalangan masyarakat tahun 1980-an, ketika hal-hal semacam itu masih sangat dipandang sebelah mata. Banyak sekali yang saya pelajari dari buku ini, dan saya tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Mungkin memang harus membaca sendiri untuk menemukan sudut pandangnya masing-masing.

Bisa dibilang novel ini adalah jenis novel yang akan meninggalkan pembacanya untuk “berpikir” jauh setelah mereka menamatkannya. Dan mungkin, mungkin…. di luar sana, novel ini telah merubah banyak cara pandang orang-orang dan juga hidup mereka.

“Sometimes, don’t you just want to stand up and yell out all the cuss words you’ve learned?”


Yes, Ari. I do.

Monday, 11 May 2015

[Book Review] Things We Know by Heart by Jessi Kirby

Things We Know by Heart
penulis Jessi Kirby
304 halaman, YA/ Death
Rating: image
Dipublikasikan 21 April 2015 oleh Harper Teen


Alone. I've felt that way for so long.

400 hari sejak kematian Trent karena kecelakaan, Quinn masih saja diliputi duka dan seolah berhenti menikmati hidup. Dia tidak mendaftar kuliah, berhenti nongkrong bareng teman-temannya, dan menghabiskan waktu hanya untuk menghitung hari-hari pasca kematian Trent. Satu-satunya hal yang membuatnya bertahan adalah 4 orang penerima donor yang masih berhubungan baik dengannya dan keluarga Trent. Melalui mereka, Quinn merasa bahwa Trent masih “ada”. Dia merasa lebih bisa menerima bahwa walaupun dia harus kehilangan Trent, banyak orang yang terselamatkan karenanya.

They say time heals all wounds, but meeting those people that afternoon—a makeshift family of strangers brought together by one person—healed more in me than all the time that passed in the days that had come before.

Trent menyumbangkan 5 organ tubuhnya ketika meninggal. Dari kelima penerima donor itulah, hanya 4 orang yang bersedia untuk “menjangkau” pihak keluarga pendonor. Sang penerima organ jantung, tidak pernah membalas surat yang dikirim Quinn. Awalnya Quinn berusaha mengabaikan perasaan mengganjal ini, tapi lama-kelamaan dia tidak tahan dengan misteri sang penerima organ paling penting bagi Trent ini.

Dimulai dari investigasi kecil-kecilan di internet selama berbulan-bulan dengan mencocokkan semua data yang ada, Quinn akhirnya bisa menemukan sang penerima donor. Pencariannya menuntun Quinn ke sebuah blog milik seorang gadis, yang menceritakan kisah perjuangan sang adik, Colton Thomas, melawan penyakit jantung yang ia derita. Yang hampir merenggut nyawanya, kalau saja organ donor tidak segera tiba.  Operasi sukses, dan kini Colton sudah pulih serta menjalani kehidupan yang nyaris normal. Dan tinggal tidak jauh dari Quinn berada.

Seharusnya Quinn berhenti di situ. Tapi dia merasa dia harus melihat Colton, walaupun dari jauh. (Dari kepo, Quinn ini berubah jadi stalker). Namun takdir rupanya menuntunnya untuk mengenal secara dekat siapa sebenarnya penerima jantung Trent ini.

For so long, I was the one with his heart. I just need to see where it is now.


Sejak awal saya merasa kesulitan untuk menyatu dengan cerita. Banyak sebenarnya yang menyebabkan saya kurang sreg. Yang paling mengganggu adalah sifat Quinn yang mencintai secara berlebihan, bahkan ketika orang yang dicintainya sudah tiada (dia bahkan menyebut dirinya sebagai 18-year-old widow. Hmpfh). Cintanya, membuat dia melanggar beberapa batas (bahkan hukum!) yang mungkin bisa saja menyeretnya ke masalah serius. Hal itu pula, yang membuat hubungan yang dimiliki Quinn dan Colton ini bisa dibilang berlandaskan kebohongan besar—atau rahasia, kalau mau dipandang sebagai hal positif. Karena Quinn sejak awal tidak mengaku siapa sebenarnya dia, dan Colton selalu menyembunyikan fakta bahwa dia pernah sakit dan selalu sembunyi-sembuyi ketika waktu minum obat tiba. Kebohongan/ rahasia/ whatever ini bikin saya bertanya-tanya, jadi yang disuka sama Quinn dari Colton sebenarnya apa? Karena Colton membawa jantung orang yang pernah dicintainya, atau karena lama-kelamaan dia mengenal Colton dan mulai membuka dirinya untuk menjalani kembali hidup dengan bantuan Colton?

As hard as we both tried, and as much as we both wanted it to be otherwise we are made of our pasts, and our pains, our joys and our losses. It’s in the very fibers of our beings. Written on our hearts. The only thing we can do now is listen to what’s in them.

Tapi yang aneh di sini, saya bisa memaklumi sifat Quinn dan lanjut baca sampai tamat. Bahkan menikmatinya! What the heck is wrong with me? Kalau buku lain, pasti sudah saya DNF-kan dan pindah ke judul lain.  

Mungkin alasan utama saya bisa betah adalah gaya penulisan Jessi Kirby ini bagus. Luar biasa bagus. Saya bisa merasakan ketenangan mengalir dari kata demi kata yang dia tulis. Membaca buku ini, menenangkan sekaligus membangkitkan emosi-emosi dari dalam diri saya. Nah, nggak semua penulis bisa menciptakan efek seperti itu ke para pembacanya. Dan please, jangan baca buku ini di publik. Emotional breakdown ain’t pretty.


Things We Know by Heart…. benar-benar sepadan dengan penantian yang saya berikan. Tapi dibandingkan karya Jessi Kirby yang lain, buku ini bukan merupakan yang terbaik. Bagi yang ingin mengenal karya-karya Jessi Kirby, saya sarankan untuk memulai dari buku lain terlebih dahulu. Golden? Moonglas? In Honor? Take your pick!

Sunday, 10 May 2015

Sany's Big Book Haul 2015

Setelah aktif dalam program book buying ban selama kurang lebih satu tahun dan memenuhi beberapa target, saya rasa cukup pantas untuk menghadiahi diri sendiri berupa buku-buku incaran yang sudah cukup lama mengantre di wishlist. Menyenangkan juga memiliki pilihan buku fisik sebagai selingan di antara bombardir novel-novel baru dalam versi ebook. Ini dia hasil belanja saya beberapa waktu lalu:


Impor:
Open Road Summer—Emery Lord

Terjemahan:
To all the Boys I’ve Loved Before—Jenny Han
There You’ll Find Me—Jenny B. Jones
Paper Towns—John Green
Shopaholic to the Stars—Sophie Kinsella

Novel-novel di atas saya beli dengan pertimbangan sangat matang (yah, kira-kira sampai teman saya mau mati bosan lah tiap saya nanya “Beli nggak ya?” untuk yang kesejuta kalinya buat tiap judul yang pengen saya beli). To All the Boys I’ve Loved Before saya beli karena Penerbit Spring berbaik hati untuk tidak mengubah desain sampul yang cantik itu dan terjemahannya bagus. Sisi negatifnya adalah penempatan margin yang terlalu mepet dan kualitas lem jilidnya kacrut. Fontnya juga aneh kalau diperhatikan secara sekilas, nyaris bikin kualitas membaca terasa kekanakan. Gambar amplop di tiap awal bab? Ugh. There You’ll Find Me saya beli karena buku ini merupakan favorit saya tahun lalu. Yah, setidaknya versi Bahasa Inggrisnya. Kualitas terjemahannya tidak rapi, pemilihan fontnya juga jelek (font terlalu kecil, spasi antarbaris terlalu lebar). Sangat tidak nyaman. Mungkin bakal saya jadikan pajangan saja. Paper Towns saya beli karena akan saya gunakan untuk project saya nanti, Annotating Your Book, setelah buku pertama untuk project ini sudah hampir selesai (dan hey, kemungkinan bakal saya share di blog nanti!). Terjemahannya halus dengan kualitas font dan desain dalamnya mirip versi Bahasa Inggirsnya. Juara banget lah pokoknya! Heran kenapa di antara semua buku terbitan Gramedia, hanya beberapa buku saja yang tampilan dalamnya bagus. Shopaholic to the Stars saya beli karena terjemahannya bagus. Fontnya juga lumayan. Poin lebihnya adalah Gramedia menggunakan kertas kuning tebal yang biasa mereka pakai untuk novel-novel biasa, tidak seperti seri Shopaholic sebelum-sebelumnya yang masih pakai kertas buram dan bukunya berukuran kecil. Kekurangannya? Berat dan harganya mahal.


Saya memang cukup rewel mengenai kualitas font dan layout yang dimiliki tiap buku karena pemakaian font yang aneh-aneh selain bikin pusing juga bikin mood membaca menurun drastis (I’m THAT tricky when it comes to physical books). Bisa dibilang hal itulah yang menjadi pertimbangan utama ketika membeli buku. Desain sampul memang memiliki porsi yang cukup besar dalam pengambilan keputusan, tapi saya masih lebih memilih memegang buku bersampul biasa tapi isinya bagus dibandingkan dengan yang luarnya wah dan serba indah tapi bagian dalamnya berantakan minta ampun. Makanya, lebih nyaman untuk berbelanja buku ke Gramedia langsung karena mereka pasti meyediakan setidaknya satu buku di tiap-tiap judul  yang sudah terbuka segelnya, lumayan buat melihat sekilas bagaimana kondisi dalamnya. Walaupun, yah, tidak didiskon hehe.


Kemungkinan saya tidak akan membeli buku lagi dalam waktu dekat (BIG DUMB LIE), jadi saya akan menikmati pemandangan buku-buku baru ini bertumpuk di meja saya untuk beberapa waktu ke depan. Terima kasih untuk semua sponsor yang sudah terlibat. I LOVE YOU ALL GUYYYSSSS.