Thursday 18 April 2013

Review: I am Number Four


Author            : Pittacus Lore
Language: INDONESIA
Date Published: Januari 2011
Type: SOFT COVER
No. of Pages: 500

Sepuluh tahun yang lalu, sembilan anak dilarikan ke Bumi dari Planet Lorien yang hancur karena perang. Anak-anak tersebut disembunyikan di berbagai tempat di Bumi dan dimantrai sehingga kaum Mogadorian yang kejam tak bisa membunuh mereka kecuali secara berurutan. Kini, satu per satu anak itu terbunuh, sesuai urutan nomornya: Satu, Dua, Tiga. Dan John Smith adalah Nomor Empat.

Jujur saya nonton filmnya dulu baru baca novelnya, dan kesan pertama saat nonton film ini adalah… GILAAAK YANG MAIN ALEX PETTYFER!!!! *jingkrak-jingkrak ala anak SMA*

Saya beli buku ini kemarin pas ada festival buku, lumayan didiskon 50% jadi harganya nggak nyampe 30 rebu gitu hahaha. Saya akui saya beli ini karena memang filmnya bagus dan “niat”, nggak pake efek alay ataupun terkesan wagu. Memang sih ada beberapa perbedaan cerita antara di novel dan filmnya (ya kalo nggak beda ngapain susah-susah bikin film -..-) tapi secara keseluruhan saya dapet lah inti ceritanya.
John Smith—nama aslinya adalah Nomor Empat—selalu hidup berpindah-pindah selama lebih dari sepuluh tahun ini. Setelah kematian si Nomor Tiga, hanya tinggal enam yang tersisa. Dulu, sebelum kabur ke Bumi, kesembilan anak tersebut dimantrai oleh Tetua Planet Lorien agar tidak dapat dibunuh oleh Kaum Mogadorian  secara acak. Namun sihirnya terbatas, mereka masih tetap bisa dibunuh jika melalui urutan Nomor mereka atau jika mereka berkumpul. Dan karena si Nomor Tiga sudah mati, kali ini adalah giliran John.
Siapakan sebenarnya mereka? Mereka adalah segelintir warga yang diungsikan saat Planet Lorien diserang oleh Kaum Mogadorian. Hanya ada sembilan anak, sembilan penjaga, dan satu pilot pesawat yang berhasil melarikan diri. Tapi konon katanya di salah satu visi yang ia lihat, ada sebuah pesawat lagi yang mengikuti pesawat mereka ke bumi. Pesawat siapakah itu? Entahlah…
Henri bukan ayahku, tapi aku selalu berkata begitu agar tidak mencurigakan. Sebenarnya Henri itu Penjagaku, atau bahasa Buminya waliku. Di Lorien ada dua jenis warga. Yang pertama adalah warga yang memiliki Pusaka, atau kekuatan—yang banyak sekali macamnya, mulai dari kemampuan untuk menjadi tidak terlihat hingga kemampuan membaca pikiran, atau kemampuan untuk terbang, hingga kemampuan untuk mengendalikan kekuatan alam seperti api, angin, atau petir. Warga yang memiliki Pusaka disebut Garde. Yang kedua adalah warga yang tidak memiliki kekuatan, mereka disebut Cêpan atau Penjaga. Aku itu Garde, Henri itu Cêpan. Sejak kecil satu Garde didampingi satu Cêpan. Cêpan membantu kami memahami sejarah planet dan juga bagaimana mengembangkan kekuatan kami Cêpan dan Garde—yang satu bertugas menjalankan planet, sedangkan yang lain bertugas mempertahankan planet.
Henri dan John pindah ke Paradise, Ohio. Dan di sana ia bertemu dengan Sarah, cewek cantik yang hobi fotografi. Namun sang mantan pacar yang tak lain adalah kapten tim football masih posesif, dia terus mengganggu John. Satu-satunya teman yang ia miliki adalah Sam. Ayah Sam menghilang, atau tepatnya diculik oleh mahkluk ruang angkasa, dan semenjak itu ia menjadi fanatik terhadap alien, mempelajari hal-hal tentang mereka.
Kali ini, John tidak ingin kabur lagi. Ia sudah lelah terus-menerus melarikan diri. Apalagi ia sudah mulai jatuh cinta dengan Sarah, dan bersahabat dengan Sam. Henri sudah berulang kali mengingatkan kalau tidak aman bagi mereka terlalu dekat dengan manusia, bahwa rahasia mereka akan terbongkar. Seiring dengan kemunculan Pusaka-nya, John terus berlatih mengembangkan kemampuan yang ia miliki, tahan api, telekinesis, dan berkomunikasi dengan hewan.
Namun saat menyelamatkan Sarah pada kebakaran di rumah Mark, mulai terungkaplah jati diri mereka. Kaum Morgadorian mulai datang. Sarah, dengan begonya terperangkap sendirian di sekolah yang sudah kosong. John datang dan menyelamatkannya, yang berarti mereka berdua terperangkap di sekolah dengan Kaum Mogadorian yang mengepung dari luar. Lalu tiba-tiba muncullah Nomer Enam. Tidak ada pilihan lain, mereka harus bertempur.
***
Satu hal yang sangat mengganggu saat membaca novel ini adalah terjemahannya. Sang penerjemah terkesan kaku dalam memilih diksi, seolah-olah menerjemahkan kata-per kata langsung dari kamus. Padahal konteks bahasa kita kan berbeda dari Bahasa Inggris. Selain itu, penggunaan kata “nggak” sebagai pengganti dari “tidak” yang lebih kasual agak mengganggu juga. Mungkin karena saya terbiasa menemui kata “tidak” di buku-buku dahulu, jadi agak merasa aneh. Cuma opini aja sih…
Kisah ini mengajarkan tentang  keberanian. Walaupun tahu mereka sangat kalah jumlah, mereka tetap bertempur mati-matian mempertahankan apa yang sudah setengah mati mereka jaga. Kami menang, kami akan terselamatkan dan kalian juga terselamatkan. Kami kalah, dan semua akan musnah.
                                                                                 
Henri masih gemetar, tubuhnya terasa rapuh dan lemah di pelukanku, aku yakin tubuhku pun tidak lebih kuat. Ini dia, pikirku. Kami akan berjalan melintasi lapangan dengan gagah menuju apa pun yang ada di sana, setidaknya kami melakukannya dengan bermartabat.


“Saat kau kehilangan harapan, segalanya pun musnah. Saat kau pikir semua telah berakhir, ketika segala sesuatu tampak buruk dan sia-sia, harapan itu selalu ada.”-Henri

Yah overall saya suka sama seri pertama The Lorien Legacy ini, dan untuk sekuelnya saya mending baca pdf nya aja deh, agak gimanaaaa gitu kalau baca terjemahannya yang pertama ini. Satu buku bagus lagi yang harus menderita karena salah diterjemahkan.
PS: sebenarnya nggak tega ngomong gitu, tapi sebagai kritik membangun aja agar di sekuel-sekuel nya nanti bisa diterjemahkan dengan lebih baik.


No comments:

Post a Comment