Di pertengahan tahun 2018, saya memulai suatu proyek rahasia. Sebenarnya proyek ini bukan baru banget, karena beberapa kali sebelumnya sudah pernah saya lakukan—cuma ya memang kurang intens saja hehe. Nama proyeknya adalah “Posting Pencapaian Kamu Hari Ini”. Instagram adalah media yang saya pilih. Makanya, kalau kalian follow akun IG saya, kelihatan kalau saya akhir-akhir ini rajin upload. Tipikal anak yang suka ngebut di akhir deadline.
Monday, 31 December 2018
Friday, 28 December 2018
[Review Singkat] Turtles All the Way Down
Target baca novel tahun ini keteteran banget. Saya cuma sempat baca beberapa. Apa aja-nya sih...saya lupa (RIP akun Goodreads yang nggak pernah diperbarui). Makanya, untuk mengobati rasa bersalah di penghujung tahun ini, kemarin saya baca novelnya John Green yang paling anyar... Turtles All the Way Down (TATWD). Saya sengaja pilih ini karena John Green adalah penulis favorit putri Bill Gates, Phoebe. Novel ini masuk dalam rekomendasi tahunan Bill Gates di websitenya, gatesnotes.com tahun lalu. Dan karena saya sudah bertekad mau mengikuti jejak baca Bill Gates, saya pikir, why not?
"I've read a couple of John's books and enjoyed each one, and his latest is no exception. Turtles All the Way Down tells a story of Aza Holmes, a high school student from Indianapolis. When a local billionaire goes missing and a $100,000 reward is offered for information about his disappearance, she and her best friend decide to track him down."
Lucu mungkin ya bagi Bill Gates membaca buku tentang perasaan anak seorang milyuner yang hidup dalam bayang-bayang identitas ayahnya. Bahkan dia sempat bercanda, "While I hope I'm nothing like the morally bankrupt Russell—he wants to give all of his money to his pet lizard and was under investigation for fraud and bribery—I think my own kids can relate to some of Davis' experiences." Jadi makin semangat deh untuk membaca novel ini; untuk tahu gimana rasanya jadi Phoebe Gates. OK.
Permulaan cerita berjalan mulus. Bahkan saya sempat tertawa berkali-kali. Humor cerdas khas John Green terasa kental sekali dalam tokoh Aza. Tapi, semakin lama, alurnya mulai melambat. Deskripsi John Green tentang OCD yang dialami Aza juga mulai membuat saya nggak nyaman karena? Saya sedikit bisa relate?
Tapi overall, saya cukup menikmati novel ini sebagai selingan segar di antara banyak biografi dan buku psikologi yang saya baca tahun ini. Tidak se-memorable Looking for Alaska, I might say. Cuma saya sangat menghargai karya TATWD lebih pada…novel ini merupakan bukti nyata kesuksesan John Green untuk keluar dari bayang-bayang kespektakuleran The Fault in Our Stars. Terus berkarya, Mr. Green!
Tapi overall, saya cukup menikmati novel ini sebagai selingan segar di antara banyak biografi dan buku psikologi yang saya baca tahun ini. Tidak se-memorable Looking for Alaska, I might say. Cuma saya sangat menghargai karya TATWD lebih pada…novel ini merupakan bukti nyata kesuksesan John Green untuk keluar dari bayang-bayang kespektakuleran The Fault in Our Stars. Terus berkarya, Mr. Green!
Saya membaca novel ini dalam dua format: ebook dan audiobook. Menurut saya narator audiobooknya bagus. Cuma ya nggak yang spektakuler gitu. Kadang saya bosan sama cara dia membawakan cerita. Tapi, karena saya akhir-akhir ini lagi hobi jadi bibik (nyuci piring, ngelap kaca, ngepel), versi audiobook ini sangat membantu saya biar kerjanya nggak sambil bengong. Paling nggak bisa saya kalau otak nganggur. Bisa ngelantur kemana-mana nanti. Jadi ya, saya cukup merekomendasikan versi audiobooknya.
Thursday, 13 December 2018
India dari Sudut Pandang The Economist
Minggu ini saya tergugah dengan salah satu artikel dari The Economist. Dari semua isu penting yang dibahas (Brexit, Presiden Perancis vs Yellow Vest, USA, satelit, dan lain-lain), saya justru penasaran dengan pembahasan singkat tentang masalah yang sedang dialami India.
Ok u got my attention, sir.
Yep, India sedang menderita karena polusi.
Saturday, 1 December 2018
Serba-serbi Teh
“Tea is more delicate than coffee, infinitely more interesting than water, healthier and more subtle than soda. It is the perfect beverage—one that can be drunk frequently and in great quantities with pleasure and without guilt.”
Salah satu teman setia saya ketika membaca buku, menulis jurnal, atau mengerjakan tesis adalah teh. Seringnya kopi sih, tapi saya akan menyeduh teh ketika dosis kopi yang masuk ke badan sudah overload. Teh yang pertama kali saya konsumsi itu suatu merek teh celup punya Bapak yang astaga super sepat dan meninggalkan rasa tidak nyaman di tenggorokan ketika ditelan. Apa yang bisa dinikmati dari minuman seperti ini?
[Spoiler: bukan tehnya yang nggak enak, sayaahh yang bikinnya ngawur]
Namun, pertanyaan besar itulah yang akhirnya membuat saya melakukan riset SUPER MENDALAM tentang teh. Saya baca buku yang khusus membahas teh, nonton video-video di Youtube tentang teh, hingga menumbuhkan kebiasaan untuk berdiri lama sekali di rak bagian teh ketika pergi ke supermarket hanya untuk melihat dan memegang macam-macam teh yang mereka jual. Am I competent or just weird?
Thursday, 29 November 2018
Artikel The Economist: "Why Suicide is Falling Around the World."—So What Gitu, Loh?
Setelah membaca buku Factfulness, saya jadi sadar kalau selama ini, kita selalu dicecoki oleh pemberitaan yang cenderung negatif, menjelekkan pemerintah, atau tidak mendidik. Pada portal berita, misalnya, jurnalis lebih suka mengambil sisi ekstrem yang negatif, karena data historis menunjukkan artikel-artikel itulah yang sering dibuka oleh pembaca. Hal ini juga bisa kita lihat pada fenomena tayangan TV tidak mendidik yang berisik dan haha-hihi, malah yang sering memuncaki rating TV nasional. Oleh karena itu, pemberitaan The Economist tentang penurunan angka bunuh diri global benar-benar menggugah perhatian saya karena tidak hanya menyoroti sisi positif dari sebuah fenomena yang kita kurang awas, tetapi juga penyebab-penyebabnya.
Sunday, 25 November 2018
[Review Drama] Because This is My First Life
Ketika diminta untuk menyebutkan genre favorit… saya tidak pernah kepikiran untuk menjawab “puisi.” Mungkin terkesan agak gimana gitu ya… tetapi memang selama ini puisi yang saya baca tidak pernah mengena di hati. Setelah beberapa kali gagal mencerna karya-karya penulis kekinian terkenal (Lang Leav? Rupi Kaur? Amanda Lovelace?) saya menyerah.
Hingga akhirnya saya kemarin marathon drama Korea “Because This is My First Life.”
Btw, saya tuh sebelum tahu ini malah ngikutinnya drama The Beauty Inside, yang mana lebih baru dan kurang nonton dua episode lagi tamat. Di The Beauty Inside, Saya merasa chemistry Lee Min Ki dan Seo Hyun Jin dapet banget. Tapi karena nggak ada akses wifi kemarin, akhirnya malah buka folder timbunan drama dan nonton Because This is My First Life.
Monday, 29 October 2018
[Book Review] Leonardo da Vinci oleh Walter Isaacson
Dua minggu lalu saya membaca biografi Leonardo da Vinci.
Walter Isaacson, sang penulis, juga mempublikasikan biografi Steve Jobs yang
sudah saya baca tahun lalu. Saya suka dengan gaya menulis Mr. Isaacson. Sangat indah
tapi tidak mengabaikan informasi yang
diberikan. Karena Steve Jobs memiliki keterkaitan dengan Leonardo da Vinci,
maka saya sempatkan waktu untuk membaca biografi sang legenda lukis ini.
“He saw beauty in both art and engineering, and his ability to combine
them was what made him a genius.”—Steve Jobs.
Saturday, 27 October 2018
[Review Buku] The Defining Decade oleh Meg Jay, PhD
Masa muda adalah masa yang berapi-api, katanya…
Beberapa waktu lalu saya membaca buku karangan seorang
psikolog dan Associate Professor of Education di University of Virginia. Beliau memiliki kepercayaan tinggi bahwa masa yang paling
menentukan kesuksesan hidup kita ke depan adalah pada usia 20-an. Tentu
selain didasarkan dari penelitian, beliau sudah mengamati banyak kliennya.
Banyak yang seusia saya yang hidup tanpa perspektif dan tujuan pasti, atau yang
lebih buruk lagi, yang usia 30-an dan 40-an sangat menyesal atas kurangnya visi
hidup di usia 20-an mereka sehingga harus membayar dalam jumlah yang besar,
baik dalam hal profesionalitas, kisah cinta, keadaan ekonomi, bahkan dalam hal
keturunan. Karena itulah buku ini beliau tulis, dan saya rasa kita semua perlu
membacanya dengan seksama agar tidak mengulang penyesalan mereka.
Banyak sih yang dibahas di sini, tapi saya cuma mau
menceritakan ke kalian beberapa poin yang saya rasa penting ya:
Sunday, 22 July 2018
[Review Buku] Self Disruption oleh Rhenald Kasali
Self-disruption adalah buku yang mahal menurut standar saya (padahal
cuma 98 ribu huft) karena waktu beli kemarin kondisi ekonomi lagi fluktuasi
parah. Tapi karena melihat nama Rhenald Kasali, ya akhirnya asal bawa aja ke
kasir (if you’re a business student, try
to read his books to stay up to date to global economic’s develompment)
sambil harap-harap cemas waktu gesek ATM. Si miskin ini akhirnya berhasil
membawa pulang buku impiannya.
Buku ini adalah jawaban dari
keinginan saya untuk membaca buku biografi perusahaan yang tidak membosankan.
Saya selalu tertarik untuk mengetahui seluk beluk dan jatuh bangunnya suatu
perusahaan, tapi nggak pernah bisa sabar dalam membaca narasi yang
bertele-tele. Makanya, pembahasan Rhenald Kasali tentang proses disrupsi diri
PT Adaro Energy ini pas banget karena infonya sudah terfokus.
Seperti yang kita tahu, Adaro
mulanya merupakan perusahaan batu bara. Bisnis batu bara belakangan memang lagi
lesu terutama setelah Amerika Serikat menerapkan teknologi hydraulic fracturing dan mulai diterapkannya energi baru terbarukan
(EBT) pada pembangkit-pembangkit listrik di berbagai negara. Oleh karena itu,
informasi yang ada di buku ini sangat penting karena ketika perusahaan batu
bara lainnya bangkrut, Adaro ini justru mampu bertahan dan bertumbuh. Apa
rahasia mereka?
“…berubah bukan karena dipaksa atasan atau pemilik perusahaan,
tapi karena sadar kalau mereka harus
berubah.”
Pesan yang selalu mereka tekankan
adalah jangan terlalu nyaman ketika
mengalami suatu kesuksesan. Selalu persiapkan diri karena kita tidak dapat
mencegah gelombang disrupsi yang pasti akan muncul dan memengaruhi bisnis kita.
Mindset itulah yang membuat mereka
rajin melakukan ekspansi bisnis. Karena mindset
itu pula, setelah tamat baca ini, saya makin nggak guilty dalam mengeluarkan uang untuk mendukung pengembangan diri
saya, misal nih: beli buku waktu jalan-jalan ke Gramedia, daftar seminar yang
bayar pake duit sendiri dan diadakan di kota lain, daftar kursus-kursus di
bidang yang memang belum mahir, dan rajin-rajin ke lab buat ngerjain tesis
(yang kemudian pasti bikin pengen jajan atau ngemall). Hidup beberapa bulan ini
jadi penuh dengan proses belajar, namun dengan pace yang nggak ngoyo karena dilakukan dengan fun dan disambi sama jalan-jalan (I have amazing friends, thanks God. Also,
BALANCE!!!). Pokoknya apapun yang bikin kualitas diri saya nambah ketika
lulus nanti….
[kemudian nggak bisa jajan
skincare sebulan karena impulsif] [yaudalaya otak dulu baru nanti mikir muka]
Masih banyak (BANYAK BANGET!)
pembelajaran (baik praktik, teori, maupun pandangan unik penulis) yang
dituangkan dalam buku ini. Misalnya, teknologi sebenarnya bukan jawaban mutlak
untuk melawan gelombang disrupsi. Yang namanya investasi teknologi itu mahal,
apa iya manfaat yang kita dapet sepadan sama duit yang dikeluarkan? Dihitung
dulu deh dengan seksama. Terus, pemerintah tuh sebenarnya lagi mencoba
mematahkan dominasi asing di bisnis-bisnis alam, tapi enggak pakai cara ngasal.
Tetap harus menggunakan strategi bisnis yang fair, karena biar gimanapun kita masih butuh investasi asing. Dan
yang paling bikin kagum, upaya mereka untuk mensejahterakan masyarakat sekitar
(dan juga Indonesia) melalui hasil aktivitas bisnis mereka, sehingga bakal
lebih mudah untuk mendapat bantuan dari pemerintah dalam hal pengembangan
bisnis. Jadi kepentingan mereka terpenuhi, dan kelebihannya bisa dinikmati
bersama oleh warga sekitar. Pinter kan?
Kalian kayaknya memang harus baca
sendiri deh biar bisa tau apa saya maksud. Karena abis ini saya harus revisi
dan bobo gasik biar besok nggak bangun kesiangan lagi lol.
*Btw, setelah baca buku ini saya
jadi pengen baca buku Astra: On Becoming
Pride of the Nation. Atau, buku terbarunya Rhenald Kasali yang harganya
naik gas pol itu. Ingin cepat bekerja cerdas rasanya, agar tidak mudah
jantungan ketika lihat price tag buku
impian.
Friday, 8 June 2018
[Rekomendasi Manga] Love So Life karya Kaede Kouchi
Halo, haloo. Apa kabar kalian?
Saya resmi sudah selesai semester
3 nih, jadi sudah bisa cerita-cerita lagi ke kalian soal buku yang baru selesai
dibaca. Hmm, kali ini bukan buku sih, tapi manga.
Bisa dibilang, saya jarang banget
baca manga. Gimana ya, susah sekali
sih cari manga yang beneran mengena
di hati. Terakhir baca itu 2 tahun lalu, waktu lagi suka-sukanya sama Yotsuba
& I berkat rekomendasi dari penulis YA favorit Laini Taylor. Tapi sejak
tamat Yotsuba, nggak ada lagi manga yang
terpegang.
Nah, kebetulan banget kemarin saya
iseng browsing di aplikasi MangaRock
(buat yang suka baca manga, bisa deh
didownload… lumayan banyak judul manga yang
bisa dibaca secara gratis). Dalam genre Slice of Life, saya tergugah untuk
membuka Love So Life karya Kaede
Kouchi. Alasannya picik sih, yaitu karena sampulnya bagus hahaha. Terus setelah
dicek, eh ada 111 chapters dan
statusnya sudah tamat (bukan ongoing).
Menyenangkan!
Dan saya
jatuh cinta.
Love So Life
(iya judulnya aneh) bercerita tentang Shiharu
Nakamura, seorang yatim piatu penghuni panti asuhan yang sangat suka
anak-anak. Pokoknya, dia keibuan banget. Padahal mah masih SMA. Saking
senengnya main sama anak-anak, dia sampe kerja paruh waktu di penitipan anak
dan punya cita-cita buat punya penitipan anak sendiri ketika sudah lulus kuliah
nanti. Nah, dari semua anak-anak yang dititipkan di tempat Shiharu bekerja ini,
ada dua bayi kembar—Aoi Matsunaga
(cowok) dan Akane Matsunaga (cewek)—yang
masih berusia 2 tahun. Mereka sangat rewel, takut sama orang asing, dan hobinya
nangis. Cumaaa, kalau sama Shiharu, mereka itu anteeeeng banget. Nempel kayak
perangko dan nurut banget sama semua kata-kata Shiharu. Semua orang sampe
bingung ini Shiharu rahasianya apa.
they’re so CUTE
Begitu tahu
kehebatan Siharu, guardian Akane dan
Aoi—Seiji Matsunaga—yang super sibuk
dan nggak sempat meluangkan waktu buat keduanya, langsung melamar Shiharu buat
jadi babysitter si kembar. Seiji ini
bekerja sebagai pembawa acara TV nasional yang sangat profesional ketika di
depan kamera namun tinggal sesendok otaknya ketika di rumah. Jadi ya kerjaan
Shiharu selain ngurus Aoi dan Akane tuh juga nyeret Seiji yang suka pingsan di
depan pintu.
Sebenernya
nih, Seiji ini adalah paman dari si kembar. Ibu si kembar baru saja meninggal
dalam sebuah kecelakaan. Sang suami yang sangat terpukul kemudian mendadak
hilang dan meninggalkan si kembar dalam titipan seorang kerabat. Seiji, yang
masih bujang dan tidak tega menyusahkan orang lain, akhirnya nekat mengasuh
mereka meskipun jadwal pekerjaannya sangatlah padat (Seiji ini tentu saja
sangat tampan dan mapan dan mengayomi layaknya para eye-candy di tiap manga. Udah
gitu dia baik banget pula ya ampun untung ku masih bisa berpijak di realita).
Dari sinilah
kita akan mengikuti kehidupan Shiharu bersama si kembar dan Seiji. Hari demi
hari, Shiharu selalu setia mengajari dan mendukung si kembar agar mandiri dan
tidak rewel. Saya suka banget deh sama metode yang dipakai Shiharu dalam
mendidik si kembar. Penuh kasih layaknya seorang ibu dan nggak pernah pake
kekerasan atau membentak. Insting keibuan Shiharu ini muncul dari ingatan
singkatnya tentang sosok ibu yang menemaninya di tahun-tahun awal kehidupannya,
sebelum sang ibu meninggal dunia. Pelajaran yang dipetik di sini adalah perilaku
dan pemikiran seorang ibu memang jadi copy
carbon pada anaknya kelak. Pilihlah calon istri yang mengayomi keluarga,
sahabat.
Dari gambar
yang disajikan, saya bisa banget menangkap cerita yang ingin disampaikan
penulis. Kelucuan si kembar, pribadi Shiharu yang hangat dan memang layak buat
dicintai semua orang, serta upaya maksimal Seiji untuk berusaha memahami
bayi-bayi ini meskipun dia minim pengalaman. Luuuuuv.
Kecintaan
saya semakin bertambah ketika semakin hari, si kembar semakin bertumbuh dan
menjadi balita yang sangat well-mannered.
Saya udah merasa kayak mereka anak saya sendiri cuy :’), bangga banget tiap
mereka berusaha memecahkan masalah-masalah kecil dan saling membantu satu sama
lain. Paling mewek di chapter 78 sih,
pas mereka running errands sendiri
untuk pertama kalinya dengan beli saos tomat ke minimarket. CUTENESS OVERLOAD!!!
Saya nggak
tahu ya apakah manga ini sudah
diterjemahkan di Indonesia, karena tiap ke rak manga tuh saya bawaannya pusing mulu (sampulnya pada rame-rame jadi
bingung mau fokus kemana). Yang jelas, Love So Life ini memang banyak kesamaan gaya
penceritaan dengan Yotsuba & I, dan kayaknya selera saya tuh yang
model-model begitu. Kalian ada rekomendasi lain nggak ya? Pokoknya yang
masuknya ke slice of life sama comedy gitu. Bakal membantu banget buat
saya menghilangkan bosan hehe.
Saturday, 28 April 2018
[Review Buku] Love Yourself Like Your Life Depends On It
Seiring
bertambahnya umur, saya menyadari bahwa saat ini sedang terjadi transisi pada
preferensi baca saya. Buku digital di iBooks teratas didominasi genre nonfiksi. Ketika pergi ke toko
buku, bagian yang dituju adalah self-improvement
dan moslem. Novel sudah tidak
menjadi bagian besar hidup saya. They
served me well, and now it’s time to move forward to another amazing journey.
Saya
juga mulai menghargai kualitas di atas kuantitas. Jika dulu bangga luar biasa
menenteng novel jumbo di atas 500 halaman, saat ini lebih suka memilih buku
yang tipis-tipis saja. Dengan catatan, buku tersebut berbobot dan menambah value diri sendiri ke depannya.
Ditambah, buku tipis lebih nyaman dibawa di tas ketika beban punggung sudah
dimonopoli oleh laptop.
Salah
satu buku yang membawa dampak besar bagi hidup saya adalah buku tipis dengan
sampul tidak menarik, Love Yourself Like
Your Life Depends on It. Buku ini direkomendasikan oleh salah satu penulis
favorit saya di Medium. Dari buku ini, saya belajar untuk mencintai diri
sendiri dan percaya kepada kapabilitas yang saya miliki untuk menyelesaikan
suatu tugas besar.
“This
day, I vow to myself to love myself, to treat myself as someone I love truly
and deeply—in my thought, my actions, the choices I make, the experiences I
have, each moment I am conscious, I make the decision: I LOVE MYSELF.”
Hal
yang saya suka dari buku ini adalah betapa sederhananya tugas yang harus pembaca
lakukan untuk sukses keluar dari lubang depresi. Cukup ucapkan pada diri
sendiri: I love myself. I love myself. I love
myself. Tidak peduli kita percaya apa tidak. Ucapkan saja dulu. Konstan dan tanpa lelah. Otak lama-kelamaan akan
memprioritaskan pikiran tersebut dan pada akhirnya mempercayainya.
Your job
is purely to love yourself. Truly and deeply. Feel it. Again and again. Make it
your single-minded focus. The mind and body will respond automatically. They
don’t have a choice.
Nilai
lebih dari buku ini adalah metode yang diajarkan di dalamnya dapat diaplikasikan
pada berbagai fase hidup, tidak terbatas pada mencintai diri sendiri saja.
Sangat cocok bagi kita yang pastinya punya masalah-masalah spesifik yang berbeda dengan orang lain. Pilihan kata pada buku ini sangat indah dan relatable, poin penting yang harus
dimiliki buku self-improvement dan sukses dieksekusi oleh penulis.
Asyiknya, semua maksud berhasil dia sampaikan dengan singkat dan jelas dalam 99
halaman digital. Tidak ada waktu terbuang ketika mencoba memahami maksudnya.
Tamat
baca ini, saya langsung memilih kata ajaib yang akan saya tanamkan pada pikiran
terdalam saya. Kalimat yang saya pilih adalah: Aku bisa menyelesaikan tesis.
Aku bisa menyelesaikan tesis. Aku bisa
menyelesaikan tesis.
Aku bisa menyelesaikan tesis.
Saya
tambahkan keyakinan yang besar pada diri bahwa saya bisa. Saya mampu. Saya punya
orang-orang yang siap membantu saya di saat jatuh-jatuhnya dan saya selalu
ingat betapa banyak pihak bisa terbantu dengan hasil fisik dari inkubasi ide
otak ini.
Terus.
Berulang-ulang. Sampai otak dan badan saya bersinergi dalam meyakini kalau saya
bisa menyelesaikan tesis ini.
Sampai
saat ini, saya masih bersemangat untuk membaca jurnal dan buku acuan tesis. Yang
paling penting, saya tidak sembunyi lagi dari dosen pembimbing. It's a win for me.
Wednesday, 11 April 2018
Portal Baru untuk Menambah Ilmu: MEDIUM
Buat
kalian yang ngikutin akun Instagram saya, pasti beberapa hari ini terganggu
banget sama spam di Instastory. Mohon
maklum ya, saya lagi kampung banget sama salah satu aplikasi super keren yang
direkomendasikan teman. Namanya Medium.
Jadi tuh, aplikasi ini semacam blog mini tempat orang-orang hebat menulis
artikel (yang hebat pula!), berbobot tapi singkat. Tiap artikel diberi
keterangan durasi bacanya, sekitar 5-15 menit. Buat kalian yang kzl baca Line
Today yang isinya Ayu Ting Ting dan artikel abal dari so-called jurnalis bermodalkan screenshot
instagram artis dan informasi cetek, sepertinya Medium adalah alternatif
membaca yang lebih berfaedah!
Saturday, 17 March 2018
Fanfiction Terbaik yang Pernah Saya Baca!
Fanfiction
sebenarnya bukan pilihan utama saya ketika mencari bacaan. Karena seperti kita
tahu, sebuah karya yang dipublikasi sendiri kadang tidak konsisten dan kurang
rapi, mengingat tidak ada peran editor profesional di dalamnya. Namun, beberapa
waktu lalu saya mendadak kangen dengan kisah Bella Swan dan Edward Cullen, and the movie kinda ruined the original
story for me. Jadi, terpaksa deh lari ke fanfiction.
Terlepas dari
ejekan banyak orang, saya tidak malu mengakui bahwa Twilight Saga adalah karya
luar biasa yang mengubah (sebagian kecil) dunia literatur fiksi hingga menjadi
seperti sekarang. Beberapa penulis terkenal pun mengaku bahwa Stephenie Meyer
adalah inspirasi mereka dalam menulis. Meskipun tidak bisa dihindari kalau
sebagian besar pembaca di Goodreads menganggap kalau karyanya itu sampah, tetep
aja tuh banyak yang ketagihan buat baca ulang lagi dan lagi. Saya sendiri bisa
mengenali bahwa Stephenie Meyer punya nadanya sendiri dalam menulis, yang
membuat kita bisa “terbius” dan terasa seperti masuk dalam dunia fiksi
ciptaannya (edisi terjemahan Bahasa Indonesia milik Gramedia juga sangat bagus
dan sukses menyampaikan cerita layaknya versi asli. Good job penerjemah!).
Subscribe to:
Posts (Atom)