Judul: Confessions of a
Shopaholic
Penulis: Sophie Kinsela
Penerbit: Gramedia
Jumlah halaman: 472
Rating: ♥♥♥♥
Rebecca Bloomwood bekerja
sebagai jurnalis keuangan di perusahaan Succesful Saving. Sayangnya, dia
sendiri gila belanja dan terlibat banyak hutang. Setiap hari ia harus mencari
berbagai akal untuk menghindari surat-surat yang dikirim oleh bank, terutama Endwich
Bank. Dia berpikir bahwa belanja adalah satu-satunya obat mujarab untuk
menghilangkan segala stress dan kepenatan—yang sebenarnya semakin menarik ia
dalam jeratan hutang.
Dia pun sebenarnya tidak
mengerti tentang keuangan, bahkan nggak tau istilah-istilah dalam keuangan
(yang mana, kasusnya sama dengan saya yang mahasiswi FE ini). Tidak pernah mau
tau isu apa yang sedang terjadi dalam dunia ekonomi. Ia datang ke seminar hanya
karena champagne, ia menulis artikel dengan menyalin dari internet. Dan sebagainya.
Semakin hari ia semakin pusing
dengan masalah hutang itu dan memutuskan untuk melakukan dua cara; KB atau PP.
Kurangi Belanja atau Perbesar Penghasilan. Cara yang pertama gagal total. Karena
malah menambah pengeluarannya untuk “investasi” jangka panjang (misal dia ingin
berhemat dengan membawa kopi dari rumah, lalu ia membeli termos trendi yang
mahal, “investasi”).
Oleh karena itu ia mencoba cara
kedua, PP. Yang mana gagal juga. Apalagi ia merasa dipermalukan oleh Luke
Brandon dengan insiden koper dan makan siang di Harvey Nichols.
Lalu Rebecca mulai sadar bahwa
hidupnya sudah melenceng jauh dari jalur. Bahwa teman-temannya sudah bergerak
maju untuk menemukan pekerjaan yang cocok untuknya. Termasuk Suze, teman seapartemennya
yang sudah begitu baik hati. Derek Smeath dari Endwich Bank juga mulai
melancarkan tindakan. Dan dalam kepenatan itu, kemana lagi ia harus lari?
Novel ini mengajarkan begitu
banyak sama saya. Seperti misal… bidang jurnalisme keuangan bukan bidangnya,
tapi kenapa ngotot bekerja di situ? Oh ya. Di sana kan susah cari pekerjaan.
Tapi dibalik kebohongan-kebohongan
(dan kebohongan lain untuk menutupi kebohongan yang lama), sosok Rebecca ini
termasuk jujur dan ekspresif. Dia bukan sosok serius membosankan yang setiap
hari memikirkan grafik dan angka *damn I hate that*. Dia mengatakan apa yang
memang ingin ia katakan, walaupun yaah… bohong sedikit. Dia masih punya cukup
hati nurani ketika Tarquin ingin memberikan 5000 pound untuk “yayasan bibinya”.
Dalam keadaan tertekan itu, ia
pulang ke rumah kedua orang tuanya. Karena, kemana lagi anak perempuan harus
pulang di saat ada masalah yang begitu berat menimpanya? Di saat itu ia mulai
memahami apa arti hidup. Tidak semua masalah harus ia selesaikan dengan lari ke
toko dan membeli jaket bulu, sepatu boots hitam, ataupun selendang mahal yang
nantinya hanya akan memenuhi lemari dan semakin mencekiknya dengan tagihan. Lalu
sedikit demi sedikit, dia mulai tahu ke mana harus melangkah, dan menemukan
cintanya.
Saya sedang menimbang-nimbang
apakah sebaiknya beli sekuelnya.
PS: sebenarnya yang saya baca covernya seperti ini, tapi gambarnya terlalu kecil dan nggak begitu jelas pfff
No comments:
Post a Comment