Wednesday, 17 July 2013

Confessions of a Shopaholic




Judul: Confessions of a Shopaholic
Penulis: Sophie Kinsela
Penerbit: Gramedia
Jumlah halaman: 472
Rating: ♥♥♥♥

Rebecca Bloomwood bekerja sebagai jurnalis keuangan di perusahaan Succesful Saving. Sayangnya, dia sendiri gila belanja dan terlibat banyak hutang. Setiap hari ia harus mencari berbagai akal untuk menghindari surat-surat yang dikirim oleh bank, terutama Endwich Bank. Dia berpikir bahwa belanja adalah satu-satunya obat mujarab untuk menghilangkan segala stress dan kepenatan—yang sebenarnya semakin menarik ia dalam jeratan hutang.

Dia pun sebenarnya tidak mengerti tentang keuangan, bahkan nggak tau istilah-istilah dalam keuangan (yang mana, kasusnya sama dengan saya yang mahasiswi FE ini). Tidak pernah mau tau isu apa yang sedang terjadi dalam dunia ekonomi. Ia datang ke seminar hanya karena champagne, ia menulis artikel dengan menyalin dari internet. Dan sebagainya.

Semakin hari ia semakin pusing dengan masalah hutang itu dan memutuskan untuk melakukan dua cara; KB atau PP. Kurangi Belanja atau Perbesar Penghasilan. Cara yang pertama gagal total. Karena malah menambah pengeluarannya untuk “investasi” jangka panjang (misal dia ingin berhemat dengan membawa kopi dari rumah, lalu ia membeli termos trendi yang mahal, “investasi”).

Oleh karena itu ia mencoba cara kedua, PP. Yang mana gagal juga. Apalagi ia merasa dipermalukan oleh Luke Brandon dengan insiden koper dan makan siang di Harvey Nichols.

Lalu Rebecca mulai sadar bahwa hidupnya sudah melenceng jauh dari jalur. Bahwa teman-temannya sudah bergerak maju untuk menemukan pekerjaan yang cocok untuknya. Termasuk Suze, teman seapartemennya yang sudah begitu baik hati. Derek Smeath dari Endwich Bank juga mulai melancarkan tindakan. Dan dalam kepenatan itu, kemana lagi ia harus lari?

Novel ini mengajarkan begitu banyak sama saya. Seperti misal… bidang jurnalisme keuangan bukan bidangnya, tapi kenapa ngotot bekerja di situ? Oh ya. Di sana kan susah cari pekerjaan.

Tapi dibalik kebohongan-kebohongan (dan kebohongan lain untuk menutupi kebohongan yang lama), sosok Rebecca ini termasuk jujur dan ekspresif. Dia bukan sosok serius membosankan yang setiap hari memikirkan grafik dan angka *damn I hate that*. Dia mengatakan apa yang memang ingin ia katakan, walaupun yaah… bohong sedikit. Dia masih punya cukup hati nurani ketika Tarquin ingin memberikan 5000 pound untuk “yayasan bibinya”.

Dalam keadaan tertekan itu, ia pulang ke rumah kedua orang tuanya. Karena, kemana lagi anak perempuan harus pulang di saat ada masalah yang begitu berat menimpanya? Di saat itu ia mulai memahami apa arti hidup. Tidak semua masalah harus ia selesaikan dengan lari ke toko dan membeli jaket bulu, sepatu boots hitam, ataupun selendang mahal yang nantinya hanya akan memenuhi lemari dan semakin mencekiknya dengan tagihan. Lalu sedikit demi sedikit, dia mulai tahu ke mana harus melangkah, dan menemukan cintanya.

Saya sedang menimbang-nimbang apakah sebaiknya beli sekuelnya.

PS: sebenarnya yang saya baca covernya seperti ini, tapi gambarnya terlalu kecil dan nggak begitu jelas pfff
 

No comments:

Post a Comment