Mengidap
kanker pada umur 16 tahun pastilah terasa sebagai nasib sial, seolah
bintang-bintang serta takdirlah yang patut disalahkan. Itulah yang dialami oleh
Hazel Grace. Sudah begitu, ibunya terus memaksanya bergabung dengan kelompok
penyemangat penderita kanker. Padahal, Hazel malas sekali.
Tapi, kelompok itu toh tak buruk-buruk amat. Di sana ada pasien bernama Augustus Waters. Cowok cakep, pintar, yang naksir Hazel dan menawarinya pergi ke Amsterdam untuk bertemu penulis pujaannya. Bersama Augustus, Hazel mendapatkan pengalaman yang sangat menarik dan tak terlupakan.
Tetap saja, rasa nyeri selalu menuntut untuk dirasakan, seperti halnya kepedihan. Bisakah Augustus dan Hazel tetap optimistis menghadapi penyakit mereka, meskipun waktu yang mereka miliki semakin sedikit setiap harinya?
Novel ini membawa kita ke dunia para karakternya, yang sanggup menghadapi kesulitan dengan humor-humor dan kecerdasan. Di balik semua itu, terdapat renungan mengenai berharganya hidup dan bagaimana kita harus melewatinya
Tapi, kelompok itu toh tak buruk-buruk amat. Di sana ada pasien bernama Augustus Waters. Cowok cakep, pintar, yang naksir Hazel dan menawarinya pergi ke Amsterdam untuk bertemu penulis pujaannya. Bersama Augustus, Hazel mendapatkan pengalaman yang sangat menarik dan tak terlupakan.
Tetap saja, rasa nyeri selalu menuntut untuk dirasakan, seperti halnya kepedihan. Bisakah Augustus dan Hazel tetap optimistis menghadapi penyakit mereka, meskipun waktu yang mereka miliki semakin sedikit setiap harinya?
Novel ini membawa kita ke dunia para karakternya, yang sanggup menghadapi kesulitan dengan humor-humor dan kecerdasan. Di balik semua itu, terdapat renungan mengenai berharganya hidup dan bagaimana kita harus melewatinya
Judul: The Fault in Our Stars
Penulis: Jong Green
Penerbit: Mizan Fantasi
Jumlah halaman: 422
Rating: ♥♥♥♥♥
Karena novel ini adalah giveaway, awalnya saya ingin membuat
review yang mendetail, lengkap, dan penuh dengan spoiler. Bahkan dilengkapi
dengan kajian ilmiah tentang kanker dan sebagainya yang sebelumnya saya
pelajari dari internet. Tapi setelah tamat…. saya terlalu sibuk tenggelam dalam
kubangan kesedihan *alah lebay*. Pokoknya, saya sebel sebel sebel sebeeeeeeel
harus nangis pas lagi baca. Kan tulisannya jadi nggak jelas hiks.
Sosok Hazel sepertinya digambarkan sama seperti Anna di buku
favoritnya, Kemalangan Luar Biasa.
Tanpa ending. Kita tidak tahu apakah Hazel meninggal atau tidak. Ya,
kemungkinan itu besar sekali. Tapi saya merasa ada yang kurang jika belum
mengetahui akhir kisah dari Hazel. Apa saya harus nyusul John Green ke luar
negeri sono untuk menuntut kejelasan?
The Fault in Our Stars adalah satu dari sedikit novel yang bisa
benar-benar saya resapi (selain P.S. I Love You). Saking sukanya, saya sampe
nggak mau re-read lagi (eh nggak janji tapi). Saya ingin mengenang Augustus
seperti saat terakhirnya di novel. Membaca ulang mungkin akan merusak feel saya kepada tokoh Augustus.
Augustus dan Hazel berjuang
dengan cara mereka sendiri untuk memerangi kanker (yang mana merupakan bagian
dari tubuh mereka, dengan kata lain mereka memerangi diri mereka sendiri). Mereka
menikmati “selamanya” dalam hari-hari pendek mereka yang tersisa. Yang harus
diselingi dengan rasa sakit, rumah sakit, dan obat-obatan yang membunuh kanker itu
pelan-pelan, tapi juga membunuhmu secara perlahan (karena kanker merupakan
bagian tubuhmu juga).
Dan yang paling saya suka dari novel ini (selain ceritanya) adalah
terjemahannya! Sumpah, terjemahannya bagus banget! Nggak kaku, nggak ambigu,
dan nggak lebay. Selain memang humornya John Green, saya jadi enjoy pas baca.
Tapi tapi tapiiiiii saya merasa terganggu sekali dengan lope-lope
yang menghiasi hampir setiap halaman. Apalagi kadang agak membayang tembus ke
halaman belakangnya. Kadang menutupi hurufnya. Aaaaaaaaaak mengganggu sekali.
Saya jadi pengen baca karya John Green yang lain *melirik celengan
ayam* *melirik timbunan yang belum terbaca* *melirik teman yang punya dan
bersedia dipinjam jadi nggak perlu keluar uang* *ditendang*
No comments:
Post a Comment